SEPOTONG NYAWA DALAM TOPLES

by September 28, 2018 0 komentar

Oleh: Aydhil)*


Di rumah sakit Karang Manjangan…

Meski matahari sudah terik, tak sedikit pun cahayanya yang menyusup ke dalam ruangan serba putih ini, ruangan ini tertutup. Tak ada satu jendela yang terpasang. Hanya ada satu pintu di sebelah pojok ruangan, sedangakan di atasnya ada satu benda yang berbentuk persegi panjang berwarna hitam. Di setiap inci-incinya ada celah-celah yang bisa mengeluarkan angin yang teramat sangat dingin. Entah apa namanya, karena baru kali ini aku melihatnya. Bau obat-obatan sungguh menyengat, berebutan memasuki lubang hidung ku.

Aku melangkah secara perlahan mendekati ranjang yang juga berwarna putih. Di atasnya ada sesosok yang berbaring lemah. Hidung dan mulutnya tertutup benda berwarna bening. Karena baru sekarang aku melihatnya, aku tak tahu apa nama benda itu.

Tubuhku masih terlalu kecil untuk mencium kening sosok yang berbaring di atas ranjang itu. Jangankan mencium keningnya, untuk menyentuh telapak tangannya saja aku harus berjinjit.

Saat ini aku benar-benar bingung mencari cara agar benda yang sedari tadi kubawa bisa kuletakkan di sebelahnya. Tiba-tiba, mataku menangkap sesuatu berwarna putih yang hanya berjarak lima langkah dari tempatku berpijak. Aku menghampirinya, kursi putih yang sederhana…

@@@

 23 hari yang lalu…

Aku pandangi ombak yang berkejaran di lautan sembari duduk di atas pasir. Aku menangis, namun suara tangisku tak terdengar. Riak ombak dan angin yang begitu kencang mengalahkan suara tangisku. Kedua mataku membengkak dan kedua bahuku bergerak naik turun mengikuti isak tangisku sendiri, sedangkan lengan kananku mengusap mataku yang terus saja mengeluarkan air mata. Aku merasa sedih. Kurasa angin sudah tak lagi bersahabat denganku.

Dan saat itulah…
Saat sebelum air mataku menyentuh pasir pantai, sosok itu datang lagi. Sesosok yang selalu akan menngahapus air mataku ketika aku sedang menangis. Sosok yang telah mengajariku betapa sederhananya kehidupan ini. Sosok yang selalu menenangkanku dengan kalimat-kalimat yang teramat sangat menyentuh. Sosok yang tak pernah asing di mataku. Dialah, Bunda tercintaku.

Saat ini Bunda datang dengan sebuah benda. Kedua matanya menyisakan warna merah. Ya… dia baru saja menangis. Sama seperti apa yang aku lakukan sebelumnya. Meskipun kedua matanya berwarna merah, Bunda masih bisa tersenyum.

“Ingatlah pesan Bunda, Nak! Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan yang namanya kematian,” ucapnya dengan tatapan yang sampai kapanpun tak akan bisa kulupakan.

Tiba-tiba saja, angin berhembus dengan begitu pelannya. Aku tak lagi mengeluarkan air mata seakan-akan rasa sedih itu bercumbu dengan angin yang berhembus entah kemana.

Dia memberikan benda yang sedari tadi digenggam padaku. Aku bisa merasakannya. Tanganya benar-benar gemetar saat menjulurkan benda yang berwarna bening itu ke tanganku. Aku bingung. Aku tidak tahu harus bagaimana? Aku hanya bisa diam dan menerima benda itu dengan perasaan yang tak bisa kujelaskan.

“Simpanlah benda ini baik-baik! Jangan pernah kau membukanya kecuali saat waktunya tiba. Sebab di dalamnya ada sepotong nyawa yang tak bisa ditukar dengan apapun.”

Sunguh aku tak mengerti apa yang diucapkan Bunda. Aku masih terlalu kecil untuk memahami kalimat itu. “Ah… Sepotong nyawa. Bukankah dalam benda itu tak ada apa-apa? Kosong… Entahlah…?”

@@@

Aku berhasil!

Berhasil memindahkan kursi putih itu ke sisi ranjang. Aku menyeringai begitu girangnya. Tanpa menunggu waktu yang lama, aku menaiki kursi putih itu. Dengan leluasa, aku bisa puas menatapnya yang sudah lama tak sadarkan diri.

Beberapa detik kemudian, aku mencium keningnya dan meletakkan benda yang kubawa di sebelah kanannya. Aku membuka tutup benda itu. Ini adalah kali pertama membuka benda ini sejak aku menerimanya di pantai utara sana.

Untuk yang kesekian kalinya, aku mengambil nafas dalam-dalam dan lagi-lagi bau obat-obatan saling berebutan memasuki lubang hidungku. Bahkan, aku mencium bau aneh yang memancar dari dalam benda itu.

@@@

Aku benar-benar sedih…

Hari ini adalah hari ke-24 sejak pertemuanku sekaligus pertemuan terakhirku di pantai utara sana. Ya…. Dia tak pernah kembali ke rumahku semenjak dia memberikan benda yang katanya, di dalam benda itu ada sepotong nyawa. “Ah, mengapa dia tak kunjung kembali juga? Bukankah rumahku adalah rumahnya pula…”

Aku merindukannya. Sangat merindukannya. Tapi, aku hanya bisa duduk berdiam diri di dalam kamar sembari memandangi benda pemberiannya. Aku masih tidak mengerti. Di dalam benda ini, kosong tak ada apa-apanya. Hingga saat ini, aku masih belum berani membuka tutupnya. Karena aku masih ingat dengan pesan singkatnya, “Jangan pernah kau membukanya kecuali saatnya tiba…”

Ada satu hal yang sering mengusik pikiranku. Meski selama ini dia tak dapat menampakkan batang hidungnya hadapanku, dia selalu mengirimi kotak makanan padaku di pagi buta. Meletakkannya di luar pintu rumah. tanpa harus bertemu denganku. Meski aku sedikit ragu kotak makanan itu benar-benar darinya, ada suatu hal yang membuatku yakin kotak makanan itu darinya. Ada sebuah pesan singkat yang bertuliskan pesan singkatnya.

Aku ingat di hari ke-17 atau lebih tepatnya enam hari yang lalu. Saat itu, secarik kertas di bawah makam itu bertuliskan, “Ingat pesan Bunda, Nak. Jangan pernah kau mencari Bunda! Kecuali suatu saat nanti saat waktunya tiba… ”

“Tapi, mengapa, bun? Aku benar-benar rindu Bunda. Tak bisahkah Bunda mencium keningku di setiap pagi, di setiap Bunda mengantarkan makanan itu ke rumah? Mengapa Bunda tak mau bertemu denganku? Apakah Bunda membenciku karna aku selalu menangis sejak Ayah tiada?” Batinku meronta setelah aku membaca pesan singkat dari Bunda itu.

Hari-hariku berbeda. Jika hari kemaren secarik kertas darinya bertuliskan. “Aku rindu kau, Nak…” hari ini secarik kertas darinya bukanlah bertuliskan pesan singkat, ataupun kata rindu lagi, melainkan sebuah tulisan yang menjelaskan nama sebuah tempat.

Nak, datanglah! Bunda rasa waktunya telah tiba. Bunda akan menunggumu di sini!
Rumah sakit Karang Manjangan…

Begitulah yang tertulis di atas kertas putih darinya.

 Sungguh demi angin yang terus saja berhembus dan demi waktu yang terus saja merangkak, air mataku menetes. Aku menangis sendiri di rumah yang telah menyimpan beribu kenangan.

Tiga detik kemudian, aku menyekai air mataku… Letak rumah sakit Karang Manjangan tak begitu jauh dari rumahku. Aku memutuskan pergi ke sana dengan berjalan kaki. Aku memang belum pernah masuk ke dalam rumah sakit itu. Tapi, untuk saat ini aku akan masuk ke dalamnya. Mungkin, jika nanti aku masuk ke dalamnya aku akan menemukan sesuatu yang tak pernah aku temukan sebelumnya…

Aku melangkah menuju Rumah Sakit Karang Manjangan yang tentunya dengan membawa benda yang Bunda berikan dua puluh tiga hari yang lalu…

Sedangkan disana, dia menungguku datang. Dua menit setelah aku membuka tutup benda itu, tangannya yang sudah tampak keriput bergerak memindahkan benda aneh yang sedari tadi menutupi hidung dan mulutnya ke atas dadanya sendiri. Kedua matanya terbuka secara perlahan.

“Bunda…” ucapku dengan senyum bahagia. Bunda membalas senyumku dengan senyuman yang merekah seperti dulu.

“Adil… Kaukah yang telah membuka toples ini?” Bunda bertanya padaku sembari menoleh ke arah benda yang kuletakkan di sebelah kanannya. “Toples?” batinku dalam hati. Dengan segera aku mengangguk.

“Kau memang anak yang baik,” ucapnya dengan lirih. Aku hanya tersenyum mendengar pujian dari Bunda.

“Masih ingatkah kau dengan pesan Bunda di pantai itu, Nak?” Sekali lagi aku menjawab pertanyaan Bunda dengan anggukan kepala. Meskipun aku masih berumur sembilan tahun, aku tak pernah sedikitpun melupakan pesan Bunda.

“Suatu saat kau akan menjadi anak yang pintar,” Lagi-lagi aku hanya tersenyum mendengar pujian kedua darinya sejak kedatanganku ke ruangan yang serba putih itu.

“Berjanjilah…!” ucap Bunda kemudian. Senyumnya menghilang. Kali ini Bunda berkata sambil meneteskan air mata. Saat aku melihat Bunda menangis, kedua mataku tampak berembun.

“Berjanjilah, Nak….!” Suaranya terdengar parau. Aku menatap kedua matanya, menunggu kalimat selanjutnya. Diam.

“Berjanjilah kau tak akan menangis jika barang yang kau cintai pergi dari kehidupanmu…” Belum sempat aku menjawabnya, seorang lelaki mengenakkan baju berwarna putih tiba-tiba saja muncul dari balik pintu. Aku menoleh ke arah pintu itu. Tanpa kusadari, lengan kiriku menyenggol benda itu. Benda itu terjatuh ke lantai yang juga berwarna putih,

“Toplesku…!” teriakku. Aku turun dari kursi, memungut toplesku lalu meletakkannya pada pangkuanku. Saat aku menaiki kursi lagi, aku sempat melihat lelaki berbaju putih tadi menggelengkan kepala. Sempurna sudah… Ketika tubuh mungilku berada di atas kursi, aku tak lagi melihat wajahnya sebab seluruh tubuh Bunda ditutupi kain putih. “Apa yang terjadi?” Aku bertanya pada diriku sendiri. Beberapa detik kemudian, lelaki berbaju putih tadi menghampiriku dan berucap pelan.

“Bersabarlah! Dia telah pergi…” Aku duduk dan mendongakkan kepala. Tapi, ah… Aku sungguh tak bisa. Air mataku jatuh begitu saja dari kelopak mata. Mengalir secara perlahan hingga menyentuh toples pemberian dari Bunda.

“Maaf, Bunda. Mungkin ini adalah yang terkhir kalinya aku menangis untuk orang yang aku cintai…”

Mulai saat itu, aku menyadari tentang satu hal. Tak selamanya orang yang aku cintai akan selalu ada di sisiku. Suatu saat nanti, aku pasti merasakan perpisahan lagi. Tapi, entahlah… Berpisah dengan siapa. Karena itu akan terjadi suatu saat nanti. Ya…. Suatu saat nanti…

Semoga kau tenang disana, Bun. Amien…(*)


)* Aktivis 3 Serangkai Flp Lake’an.

FLP Banyuanyar

Developer

Cras justo odio, dapibus ac facilisis in, egestas eget quam. Curabitur blandit tempus porttitor. Vivamus sagittis lacus vel augue laoreet rutrum faucibus dolor auctor.

0 komentar:

Posting Komentar