PERISTIWA TERANG BULAN

by September 28, 2018 0 komentar

*Oleh: O. Ramadan


Angin sore berhembus begitu kencang, membuat layanganku seketika meliuk-liuk tak karuan. Aku, sang tuan layangan malah kewalahan  untuk “mengambet” serta “mengulur” senar. Kulihat tidak hanya layanganku saja yang sedari tadi meliuk-liuk tak karuan. Disebelah sana, Rohim juga tampak kerepotan untuk mengulur senar. Bentuk layangannya yang lumayan besar menghasilkan daya hentak yang kian berat.

Aku mempererat genggamanku pada senar. Angin belum juga kunjung tenang. Layanganku yang memang sudah sejak awal tidak seimbang, sontak saja geraknya makin menggila. Berputar-putar tak menentu. Daya tarik yang dihasilkan pun kian menaik, membuatku makin kewalahan untuk mengendalikannya. Tes…! Senar yang sekarat itu merenggang nyawa tepat di ujung kuku jempolku yang sedikit tajam. Ya, kuku jempolku tidak sengaja telah memotongnya.

“Layang-layang putus… Kejar…!!!” Tiba-tiba teriakan itu melengking keras dari arah utara. Seperti biasa, setiap ada satu layangan putus, segerombol anak akan berteriak-teriak kencang dan berbondong-bondong mengejarnya. Kadang di hari-hari lain, aku turut serta dalam rombongan yang berjumlah sepuluh hingga delapan belas orang itu, adu lari cepat menerobos rimbun semak. Berebut sebuah layangan. Jika sedang beruntung, terkadang aku pulang dengan senyum puas sambil memamerkan hasil tangkapanku di depan teman-teman yang menjadi sainganku.

“Kejar...!” layanganku melambung semakin jauh. Terbawa angin ke arah utara diikuti teriakan menghilang anak-anak sebayaku memasuki semak kebun karet yang berderet-deret di semenanjung lahan. Aku? Entahlah… Kali ini aku tidak sedikit pun tertarik untuk ikut bergabung dengan mereka. Aku diam saja menatap layangan yang kian mengabur dari pandangan. Angin membawanya terbang jauh, menyatu dengan warna langit senja yang  mulai sedikit memerah.

Terlepas dari itu, baru-baru ini tersiar kabar tentang seorang anak dari kampung sebelah yang tidak kunjung pulang setelah mengejar layangan di rimbun semak. Bahkan hingga kini, belum jelas kemana perginya bocah malang itu. Sebagian masyarakat yakin bahwa anak itu telah dibawa oleh Mojang, penghuni semak itu.

Kampung kami, suku Melayu, memang terbilang berdekatan dengan kawasan pemukiman Mojang. Hanya perlu melewati beberapa kilometer rimbun semak, kita sudah sampai ke perbatasan Bagan Tua. Tapi, tidak sembarang orang bisa ke sana. Jika ada yang berani masuk, jangan harap ia akan kembali. Dan itulah sebab musabab aku tidak ikut masuk ke semak sore ini.

###

Biasanya, ketika menjelang maghrib, anak-anak kampung akan berduyun-duyun pergi mengaji ke surau Pak Hamim.  Tawa bederai di sepanjang jalan, menyapa rumah-rumah panggung yang berjejer  di tepian tembok kecil. Lampu-lampu minyak menjadi penerang utama di setiap rumah dan surau. Letak kampung yang terbilang sangat jauh dari ibu kota, menyulitkan listrik masuk ke kampung ini. Namun meski demikian, hal itu sama sekali tidak menghentikan aktivitas masyarakat di sini. Seperti halnya di persimpangan utara kampung yang setiap malam menjelang, para bujang akan berkumpul meramaikan malam dengan irama timpuk gaple, sesekali pula gelak tawa mengimbangi sahutan jangkrik di sekitar.

Tapi tidak malam ini. Ya, selepas magrib tadi, dua keluarga merana dilanda kesedihan dan cemas. Buncah oleh ringkik tangis. Dua bocah seumuranku, Fikri dan Ilham, tidak kunjung pulang dari sore tadi. Kulihat mereka turut serta menyusuri semak bersama gerombolan anak-anak tadi sore. Tidak ada yang tahu kemana mereka! Teman-temannya pun yang juga ikut memasuki semak menggeleng lesu. Bu Halimah, ibunda Fikri malah berkali-kali pingsan di pagkuan suaminya.

Mendengar kabar itu, bulu kudukku seketika berdiri serempak. Bayangan menyeramkan tentang  Mojang tiba-tiba melenggang di benakku. Sudah sejak dua menit yang lalu bunyi kentong dari persimpangan utara kampung menggema. Para bujang serta para kepala keluarga berkumpul di persimpangan bersama tetua kampung, sedang anak-anak sepertiku beserta ibu-ibu bebondong-bondong mendatangi rumah kedua bocah itu. Aku dan Mamak tak ketinggalan ikut menjenguk kelurga korban yang kebetulan letak rumah mereka tidak terlalu jauh dari rumahku. Sesekali di tengah perjalanan, Mamak mengoceh memperingatiku agar tidak sering berkeliaran di kebun itu. “Ingat itu, Jang!!” tegas Mamak. Aku diam mengikuti langkahnya dari belakang.

 Di persimpangan, para bujang dan kepala keluarga berkumpul membentuk barisan. Beberapa obor dari batang bambu mengimbangi cahaya rembulan yang tampak separuh badan. Di depan mereka, tetua kampung tampak khusyuk berbicara.

“Satu kelompok menyusuri semak dari sebelah timur dan saya sendiri akan memimpin kelompok lain masuk dari arah barat,“ lantang tetua kampung membagi tugas membuat semakin tampak jelas sebagian kulitnya yang  mulai mengendur di tarik usia itu.

“Dan ingat, jika jam sepuluh malam kedua anak itu  belum juga ditemukan, kita berkumpul  di perbatasan Bagan Tua!“ lanjutnya yang kemudian disusul teriakan mengiyakan dari kedua rombongan. Mereka pun  masuk ke rimbun semak, menggunakan obor sebagai penerang jalan.

###

Aku yang sedari tadi duduk di antara kerumunan anak-anak yang lain, sesekali bergidik membayangkan kejadian menyeramkan itu. Sesekali aku mengatupkan rahangku saat Rohim mengutarakan dugaan menyeramkan mengenai nasib Fikri dan Ilham. Setahuku ada riwayat menyeramkan tentang  Mojang yang pernah kudengar dari cerita Mamak sebelum tidur. Mamak mengatakan kalau mereka akan melakukan suatu ritual mistis setiap kali ada orang asing yang masuk ke kawasan mereka dan konon mereka akan membunuhnya.

Suara tangisan yang semakin pecah membuyarkan ingatanku. Rupanya, rasa takut telah menjalar ke setiap jengakal akal fikiran mereka. Berkali-kali ibu-ibu yang lain  termasuk juga Mamak, mencoba menenangkan mereka. Tapi bagai angin yang hinggap lalu pergi, sepintas saja bujukan-bujukan itu mampir di telinga  kedua ibu itu, selepas itu hilang ditelan rasa cemas.

###

Di kejauhan sana di antara rimbun semak, kelompok yang di ketuai kepala kampung telah memulai aksinya. Melibas segala sesuatu yang menghalangi jalan, menyusuri rimbun semak. Teriakan-teriakan memanggil dua bocah itu menjadi lagu wajib yang tiada henti disenandungkan sepanjang perjalanan. Menjadikan suasana mencekam terasa kian sempurna. Di lain tempat, para bujang  melakukan hal serupa, melibas semak-semak yang menutupi jalan. Sesekali juga mereka berteriak-teriak memanggil dua anak itu.
Ada cerita menyeramkan mengenai rimbun semak itu, yang sering Mamak ceritakan kepadaku. Kata Mamak, dulu rimbun semak yang menjadi pembatas antara kampung kami dengan kawasan kelompok Mojang adalah tanah lapang yang dipadati perumahan. Rumah-rumah panggung berjejer teratur di sepanjang tanah. Melayu dan suku pribumi pulau ini hampir berbaur menjadi dua suku yang hidup damai. Tapi seiring pergantian waktu, sebuah masalah datang melahirkan bencana yang berujung pertentangan besar antara dua suku. Entah permasalahan apa yang Mamak maksudkan. Aku tak tahu pasti, sebab memang Mamak juga tidak pernah menceritakan hal itu padaku. Tapi yang pasti, sejak saat itulah terjadi bencana besar yang meneteskan banyak darah. Ya, kawasan itu kemudian dibiarkan begitu saja, sebagai pembatas, dengan sebuah perjanjian tidak tertulis antara tetua kampung dengan kepala suku. Akh.. aku sering merengek ketakutan setiap kali Mamak menceritakan bagian ini.

Jam 21:30 malam. Belum ada kabar pasti yang menunjukkan keberadaan dua bocah malang itu. Tetua kampung mulai cemas, terlihat jelas dari rona wajahnya yang tampak tak setenang tiga puluh menit yang lalu. “Setengah jam lagi!” pikirnya. Ya, setengah jam lagi mereka sudah harus berkumpul di perbatasan Bagan Tua. Jika tiga puluh menit lagi dua anak itu belum juga ditemukan, tak ada pilhan lain selain beramai-ramai memasuki kawasan terlarang Mojang. Atau malah pulang dengan tangan hampa.

Beberapa ratus meter lagi mereka tiba di perbatasan. Lelaki tua itu nampak semakin cemas. Sementara di atas sana rembulan sedikit demi sedikit mulai benderang. Awan tipis yang sejak jam tujuh tadi berarak di sekitarnya, kini beranjak perlahan ke arah utara. Ada riwayat menyeramkan yang perlahan berkelebat di benak lelaki paruh abad itu. Mengenai perjanjian tidak tertulis tiga puluh tahun silam antara tetua kampung dengan raja Mojang. Jika ada  penduduk yang berani masuk ke kawasan terlarang itu tanpa idzin, jangan harap ia akan kembali. Kini satu persatu dari rombongan itu mulai menampakkan keresahan. Wajah-wajah di bawah obor itu kini berkeringat dingin.

###

Satu lagi cerita seram Mojang yang aku dengar dari penuturan orang-orang, bahwa Mojang adalah  salah satu suku yang  masih begitu mengagungkan tradisi leluhur mereka. Kebiasaan yang masih sangat asli membuat mereka begitu ditakuti. “Kanibal!” Begitu kata orang-orang.

“Aku takut, Jang…” Rohim beringsut merapatkan badan menyentuhku. Entah ada angin apa. Padahal, baru saja dia tiada henti tertawa-tawa bersama anak-anak lain di beranda rumah. Persis anak berang-berang yang gembira saat permohonannya agar hujan turun, terkabulkan.

Di atas rumah panggung itu, rembulan sempurna bersinar terang. Angin sepoi menerpa dedaunan jambu di samping rumah itu. Keluarga dua bocah itu tidak henti-henti menangis.

###

Tetua kampung telah lebih dulu tiba di perbatasan Bagan Tua. Dia beserta rombongan yang dipimpinnya berkumpul di depan sebuah warung beratapkan anyaman daun sagu itu. Obor-obor yang sejak tadi mereka pegang, kini ditancapkan ke tanah sebagai sarana penerang. Kecemasan kini benar-benar membuncah di antara deru pelan angin yang meningkahi wajah-wajah mereka. Keringat dingin mengucur tanggung. Tak terkecuali dengan wajah lelaki paruh abad itu, kehilangan warna. Ya, sudah jam 09:50 malam, kedua bocah itu belum juga ditemukan.

Berselang beberapa menit di perbatasan Bagan Tua, tiba-tiba dari arah timur segerombol orang berduyun-duyun membawa obor datang mendekat. Tetua kampung yang lebih dulu menyaksikan pemandangan itu merasa sedikit lebih tenang, ada sekintal harap yang menggantung di antara obor-obor itu. “Semoga mereka berhasil…” batinnya harap-harap cemas.

Sementara rombongan semakin mendekat, tampaklah beberapa bujang kampug dengan langkah tergesa, menuju ke tempat perkumpulan.

“Bagaimana, apakah kalian berhasil…?” Belum sampai rombongan itu menancapkan obor-obornya ke tanah, tetua kampung telah lebih dulu menyambut mereka dengan pertanyaan yang tentu saja jawabannya adalah tidak! Mendapati kenyataan buruk itu, tetua kampung terdiam. Menunduk cemas, berpikir sesuatu dengan beberapa orang yang tengah menyeka keringat dingin di bawah obor-obor itu, mereka tampak cemas.

Sementara itu di balik semak sana, di sebuah kawasan yang dipadati perumahan sederhana dengan atap jerami seadanya, malam begitu tenang. Kawasan Mojang! Tak tampak suasana gaduh tengah terjadi di sana. Lalu bagaimanakah dengan kabar dua anak itu? Kemana mereka?

“Pak tua! Pak, lihat di dalam Bagan itu. Seperti ada sesuatu…” Tiba-tiba salah seorang dari bujang yang tengah duduk menghadap ke arah Bagan itu menunjuk-nunjuk ke arah bias cahaya obor. Ada seseorang yang sepertinya tengah tertidur pulas di dekat pintu bangunan kecil di sana. Lekas Tetua kampung bergegas mendekati Bagan. Hati-hati sekali lelaki paruh abad itu menaiki tangga kayu yang berderit-derit, diraihnya ujung pintu pagar kayu setinggi paha yang menutupi bibir teras Bagan. Di tariknya keluar lalu terbukalah pagar kecil setengah tua itu. Sempurnalah terlihat dua sosok anak kecil tertidur pulas dengan dengkuran kecil  memecah keheningan.
”Alhamdulillah…”

EPILOG

“Kami dihantar oleh seorang lelaki gagah beserta rombongannya yang berpakaian aneh dari sebuah kawasan di balik semak ke Bagan Tua itu. Mereka membopong kami yang kelelahan. Lelaki itu sungguh baik. Lelaki itu berpakaian sama seperti yang kita pakai setiap kali ke surau, sedangkan yang lain hanya memakai penutup kemaluan sejenis rok mini yang di bagian bawahnya seperti disobek-sobek.  Pakaian yang dia kenakan amat berbeda dari yang lain. Mereka memanggilnya kepala suku,” tukas Fikri diiyakan Ilham ketika Tetua kampung bertanya sebab musabab mereka berada di Bagan itu. Sesaat kemudian, kedua ibu anak-anak itu memeluk anak mereka dan selesai…

Januari  2014

FLP Banyuanyar

Developer

Cras justo odio, dapibus ac facilisis in, egestas eget quam. Curabitur blandit tempus porttitor. Vivamus sagittis lacus vel augue laoreet rutrum faucibus dolor auctor.

0 komentar:

Posting Komentar