AKU BERCERITA TENTANG HUJAN

by November 06, 2018 0 komentar

Oleh :*Syaiba Fahuril)

Angin sore berdesir kencang. Menyapu pemandangan sekitar ladang. Padi, rerumput, dan ilalang menari menyambut kedatangan angin yang tak henti-hentinya menelisik menyentuh lembut kulit para insan. Para petani begitu gigih mencangkul tanah basah semenjak langit ratakan hujan beberapa hari ini ke muka bumi.

Anak-anak berlarian saling kejar satu sama lain dengan begitu riangnya bernyanyi, melepas baju tanpa alas kaki menapaki tumpukan tanah di sekeliling sawah. Aku berada diantara mereka mengikuti arah yang menjadi tujuan, adu lari cepat saling sikut. Ini sudah menjadi kebiasaan anak kampung setiap sore yang takkan pernah terlupakan.”Mari kita mandi di sungai.” teriak Sanusi memimpin paling depan.

Sungai yang selama ini menjadi tempat pemandian para penduduk kampung , begitu jernih dan bersih. Mengalir begitu deras. Aku dan teman-teman sudah sampai di sungai. Mereka turun melempar diri kedalam air. ”segar” seru mereka. Di ufuk barat semburat warna kemerahan sedikit-demi sedikit mulai sirna. Sebentar lagi malam akan tiba. Tapi mereka tidak menghiraukan hal itu. Mereka malah asik bermain, menyelam, memunceratkan air dan saling semburkan air melalui mulut. Aku menghembuskan nafas ketika mengangkat tubuh dari dalam air.

“Sudahlah  mari  kita  pulang sebentar lagi maghrib akan  tiba.” Ucapku seraya naik ke dasar sungai kemudian melangkah duduk diatas bongkahan batu besar. Mereka semua mengikuti apa yang aku katakan. Aku dan teman-teman pun pulang bersama dalam  keadaan basah melewati lorong berbatu penuh lumpur saat tubuhku masih digerogoti kegigilan sebab serpihan angin yang sangat kencang. Aku dan teman-teman berpisah di perempatan jalan, Bahri, Sanusi, Rosyid dan Dewi mereka berempat pulang melewati jalur yang sama. Sedangkan Aku sendirian, karna rumahku tak jauh dari pemrempatan jalan, bisa di bilang hanya dengan lima puluh langkah sudah sampai
.
***
Biasanya ketika menjelang maghrib anak-anak kampung sebayaku bersama-sama pergi mengaji kerumah Ustad Mahmud di samping rumahku. Tertawa gembira, membawa iqro’ kecil dan semacam kain untuk dijadikan alas sholat. Penampilannya begitu rapi seperti kaum sarungan di pesantren ketika hendak pergi ke masjid.

Taplok menjadi penerang di setiap rumah berdinding bambu di kampungku. Semenjak aku lahir memeng tak ada terangnya lampu di setiap sudut-sudut perkampungan. Kampungku jauh dari perkotaan, itu sebabnya listrik tak merambatmungkin pemerintah tidak pernah mengunjungi kampungku. Sempat aku bertanya pada bapak tentang lampu yang sampai saat ini tidak menerangi kampung ini. Ternyata benar pemerintah memang tidak perduli pada rakyat pedalaman. Ya, Tapi semua itu tak membuat penduduk kampung putus asa untuk mengerjakan apa saja setiap harinya.

Selesai sholat aku  pergi ke teras, berdiri menyandarkan tubuh rempengku ke pilar yang  mulai termakan rayap. Menikmati sejuknya malam tanpa bintang-gemintang. Melihat anak-anak kampung tengah duduk di atas tikar janur disurau seraya membaca iqro’ kecil yang ditutun oleh ustad Mahmud. Aku ingin sekali seperti mereka. Tapi Bapak tak memperbolehkan aku  mengaji kesurau, sebab Bapak takut natinya aku hanaya menjadi penyebab ketidak fokusan mereka dalam belajar. Bapak mengira aku  anak  yang doyan bergurau. Justru  itu bukan aku yang sesungguhnya. Itu hanya ke hawatiran Bapak. Di rumah aku hanya terpaku, diam mendengarkan radio setiap malam, menunggu suara adzan Isya’ muncul dari  radio lama peningalan Kakek.

Radio gantung tanpa penutup dan sepeda ontel butut yang hanya menjadi peninggalan kakek. “Sek…sek Allahu….” suara adzan muncul tak jelas, membuatku sedikit kaget. Biasa barang antik yang masih ada sampai sekarang. Radio gantung sialan ini selalu membuat susah, setiap hari Bapak selalu membongkar pasang batre untuk di jemur di atas genting supaya menghasilkan tenaga listrik, aneh. Dan juga radio gantung ini telah menjadi warisan ke tujuh dalam keturunan keluargaku. Ya, untungnya warisan keluarga, kalau bukan sudah dulu dilempar jauh-jauh oleh Bapak. Meskipun hanya ada radio, setiap harinya keluargaku tak jauh ketinggalan berita-berita terkini ibu kota. Aplagi ketika ada kabar timnas Indonesia bertanding pasti semua penduduk kampung berbondong-bondong menuju kerumah ikut menonton meskipun hanayak dibalik suara saja.

“Nak kamu tak mau  tidur besok kan sekolah?” Bapak duduk di atas kursi ayun sambil menghisap sebatang lisong digenggamannya.
Aku masih hawatir dengan cuaca besok pagi, apa hujan masih akan turun untuk membasahi dataran bumi atau malah  akan sebaliknya. Setiap kali aku  hendak  pergi ke sekolah  pasti hujan  tumpah begitu lebatnya. Membuat seragam yang aku pakai basah kuyup. Bapak begitu terburu-buru mengayun sepeda tua peninggalan kakek sehingga nafasnya patah-patah, lemah. Kejadian  itu sudah aku alami beberapa kali.

Radio gantung sialan itu, aku bawa ke dalam kamar. Aku melangkah dalam keadaan buyar. Merabahkan  tubuh di atas tikar janur kumuh yang robek. Sedangkan Bapak menutup pintu rumah dengan penuh hati-hati.

***
Hujan diluar membungkus perkampungan. Petir menyambar. Suara guntur terdengar mengelegar. Hujan turun semakin deras. Udara terasa lebih dingin dan lembab. Aku melangkah malas menuju ke teras. Nasib, aku menghela nafas sebal padahal aku sudah terlihat rapi dengan seragam baru yang Ibu beli di pasar kemaren. Apalah daya hujan turun mengutuk selera untuk menjalankan aktifitas pagi ini tak begitu baik.

Bapak dan Ibu duduk diatas kursi, melihat kegelisahanku. Mereka berdua kelihatanya lagi berbincang-bincang. Tak tau tentang apa?. Aku memfokuskan diri mendongak menatap langit, petir kesekian kalinya menyambar, membuat gumpalan awan hitam terlihat memerah sepersekian kalinya, seperti gumpalan api memenuhi awan-awan hitam. Guntur bergemuruh membuat ngilu gendang telinga. Aku menghela nafas, kecewa. Kesabaranku mulai meluap. Beberapa kali aku terlambat pergi kesekolah karna hujan yang tak mau bersahabat.

Saat ini perasaanku benar-benar suram. Aku tidak bisa pergi kesekolah dan bertemu dengan teman-teman baru dikelas. Semoga saja hujan cepat reda.

“Nak, makan dulu nanti pasti hujan akan reda.” Bujuk ibu yang tengah duduk disamping Bapak sambil lalu mendengarkan bunyi radio yang masih tak jelas dengan bunyi serk...sek.

Aku menghiraukan Ibu. Aku lebih suka diam, melihat suasana yang berbeda saat ini. Tiba-tiba Bapak muncul dengan sepeda tua peninggalan kakek dari belakang rumah, seperti supermen ketika ingin membasmi musuh-musuhnya. Tersenyum bahagia, menawariku untuk naik ke boncengannya. Aku menyerigai. Bapak berada di antara taburan hujan, bajunya basah kuyup sesaat. Aku pun dengan berani melangkah, menghampirinya. Begitu dingin yang kurasa.

Bapak  hanya diam menatapku dalam keadaan ini. Bapak turun dari sepedanya lalu menaikkanku  ke tempat duduk belakang sepeda Forever-nya, mengikat kakiku ke tuas bawah sandal dengan tali agar tak terlibas jari-jari ban, kemudian membawaku pergi. Bapak begitu lihainya memedal sepeda tua, yang selama ini menjadi super perjuangan menelusuri jalan. “Ayo Pak lebih cepat lagi bawa sepedanya.” Aku dan Bapak sudah jauh meninggalkan jejak, melewati jalan berlumpur. Ini perjuangan seorang Bapak untuk membuat anak-anaknya selalu tersenyum.

Beberapa menit berlalu. Aku dan Bapak sudah sampai di halaman sekolah. Keadaan hening, tak ada suara terdengar. Bapak turun menyandarakan sepedanya ke tubuh pohon jambu yang ada didepan sekolah, langkahnya gamang menuju ke teras sekolah. Aku membuntutinya  dari belakang, menyeka bulir keringat di muka.

Sampai hujan reda, aku dan Bapak mematut di atas kursi panjang mulai dari tadi. Sudah lama menunggu tapi masih tak ada satupun orang yang bertandang, baik itu guru maupun teman-teman. Bapak hanya diam tak mengajakku untuk berbicara sepatah dua katapun, padahal aku ingin sekali mengajaknya pulang.  Ayolah ? kata itu tergiang dalam benakku.

“Apa ada acara besar yang membuat sekolah ini libur?” Bapak mulai berucap dengan suara serak, khasnya.

“Tak ada kabar apa-apa dari guru.” Aku yang semenjak dari tadi sibuk mengipas seragam memakai buku pelajaran.

Dari kejahuan terlihat seorang lelaki, usianya bisa dibilang 35 tahunan. Pakainya sederhana, kepalanya tertutupi capeng rambul yang terbuat dari bamabu. Dia memegang kayu panjang dan ember berwarna hitam. Aku sedikit ketakutan melihatnya. Sesampainya lelaki itu didepan Bapak, dia berkata.

“Lagi apa pak disini?”  Lelaki itu bertanya ketika hendak meletakkan ember diatas kursi panjang yang kami duduki.

“Saya lagi mengantarkan anak saya.” Bapak menjawab, dengan gerak sibuk menghapus keringat yang membasahi wajahnya.

Lelaki tua itu malah tertawa, parasnya yang mulai berkerutan seperti mengejek. “Sekarang kan hari minggu.” Ketika berucap seperti itu lelaki tua itu pergi dari hadapan Bapak.

Rasa bingung sesaat mengelanyut cepat. Apa ada yang salah dengan hari ini atau aku yang memang salah mengingat akan nama-nama hari. Padahal aku tidak pernah lupa hari minggu. Hari minggu kan hari yang paling baik untuk semua orang, termasuk aku. Aku pun pulang tanpa menghiraukan kembali semuanya. Sedangkan Bapak malah tersenyum sambilalu mengeleng kepala melihat aku pergi begitu saja. Hujan yang sekarang bukan sahabatku lagi. Saat itulah aku mulai membenci hujan dan lupa akan semua cerita yang pernahku lewati setiap tiba hari minggu.

                                     *Banyuanyar , 01 November 2018

FLP Banyuanyar

Developer

Cras justo odio, dapibus ac facilisis in, egestas eget quam. Curabitur blandit tempus porttitor. Vivamus sagittis lacus vel augue laoreet rutrum faucibus dolor auctor.

0 komentar:

Posting Komentar