Oleh :*Syaiba Fahuril)

Angin sore berdesir kencang. Menyapu pemandangan sekitar ladang. Padi, rerumput, dan ilalang menari menyambut kedatangan angin yang tak henti-hentinya menelisik menyentuh lembut kulit para insan. Para petani begitu gigih mencangkul tanah basah semenjak langit ratakan hujan beberapa hari ini ke muka bumi.

Anak-anak berlarian saling kejar satu sama lain dengan begitu riangnya bernyanyi, melepas baju tanpa alas kaki menapaki tumpukan tanah di sekeliling sawah. Aku berada diantara mereka mengikuti arah yang menjadi tujuan, adu lari cepat saling sikut. Ini sudah menjadi kebiasaan anak kampung setiap sore yang takkan pernah terlupakan.”Mari kita mandi di sungai.” teriak Sanusi memimpin paling depan.

Sungai yang selama ini menjadi tempat pemandian para penduduk kampung , begitu jernih dan bersih. Mengalir begitu deras. Aku dan teman-teman sudah sampai di sungai. Mereka turun melempar diri kedalam air. ”segar” seru mereka. Di ufuk barat semburat warna kemerahan sedikit-demi sedikit mulai sirna. Sebentar lagi malam akan tiba. Tapi mereka tidak menghiraukan hal itu. Mereka malah asik bermain, menyelam, memunceratkan air dan saling semburkan air melalui mulut. Aku menghembuskan nafas ketika mengangkat tubuh dari dalam air.

“Sudahlah  mari  kita  pulang sebentar lagi maghrib akan  tiba.” Ucapku seraya naik ke dasar sungai kemudian melangkah duduk diatas bongkahan batu besar. Mereka semua mengikuti apa yang aku katakan. Aku dan teman-teman pun pulang bersama dalam  keadaan basah melewati lorong berbatu penuh lumpur saat tubuhku masih digerogoti kegigilan sebab serpihan angin yang sangat kencang. Aku dan teman-teman berpisah di perempatan jalan, Bahri, Sanusi, Rosyid dan Dewi mereka berempat pulang melewati jalur yang sama. Sedangkan Aku sendirian, karna rumahku tak jauh dari pemrempatan jalan, bisa di bilang hanya dengan lima puluh langkah sudah sampai
.
***
Biasanya ketika menjelang maghrib anak-anak kampung sebayaku bersama-sama pergi mengaji kerumah Ustad Mahmud di samping rumahku. Tertawa gembira, membawa iqro’ kecil dan semacam kain untuk dijadikan alas sholat. Penampilannya begitu rapi seperti kaum sarungan di pesantren ketika hendak pergi ke masjid.

Taplok menjadi penerang di setiap rumah berdinding bambu di kampungku. Semenjak aku lahir memeng tak ada terangnya lampu di setiap sudut-sudut perkampungan. Kampungku jauh dari perkotaan, itu sebabnya listrik tak merambatmungkin pemerintah tidak pernah mengunjungi kampungku. Sempat aku bertanya pada bapak tentang lampu yang sampai saat ini tidak menerangi kampung ini. Ternyata benar pemerintah memang tidak perduli pada rakyat pedalaman. Ya, Tapi semua itu tak membuat penduduk kampung putus asa untuk mengerjakan apa saja setiap harinya.

Selesai sholat aku  pergi ke teras, berdiri menyandarkan tubuh rempengku ke pilar yang  mulai termakan rayap. Menikmati sejuknya malam tanpa bintang-gemintang. Melihat anak-anak kampung tengah duduk di atas tikar janur disurau seraya membaca iqro’ kecil yang ditutun oleh ustad Mahmud. Aku ingin sekali seperti mereka. Tapi Bapak tak memperbolehkan aku  mengaji kesurau, sebab Bapak takut natinya aku hanaya menjadi penyebab ketidak fokusan mereka dalam belajar. Bapak mengira aku  anak  yang doyan bergurau. Justru  itu bukan aku yang sesungguhnya. Itu hanya ke hawatiran Bapak. Di rumah aku hanya terpaku, diam mendengarkan radio setiap malam, menunggu suara adzan Isya’ muncul dari  radio lama peningalan Kakek.

Radio gantung tanpa penutup dan sepeda ontel butut yang hanya menjadi peninggalan kakek. “Sek…sek Allahu….” suara adzan muncul tak jelas, membuatku sedikit kaget. Biasa barang antik yang masih ada sampai sekarang. Radio gantung sialan ini selalu membuat susah, setiap hari Bapak selalu membongkar pasang batre untuk di jemur di atas genting supaya menghasilkan tenaga listrik, aneh. Dan juga radio gantung ini telah menjadi warisan ke tujuh dalam keturunan keluargaku. Ya, untungnya warisan keluarga, kalau bukan sudah dulu dilempar jauh-jauh oleh Bapak. Meskipun hanya ada radio, setiap harinya keluargaku tak jauh ketinggalan berita-berita terkini ibu kota. Aplagi ketika ada kabar timnas Indonesia bertanding pasti semua penduduk kampung berbondong-bondong menuju kerumah ikut menonton meskipun hanayak dibalik suara saja.

“Nak kamu tak mau  tidur besok kan sekolah?” Bapak duduk di atas kursi ayun sambil menghisap sebatang lisong digenggamannya.
Aku masih hawatir dengan cuaca besok pagi, apa hujan masih akan turun untuk membasahi dataran bumi atau malah  akan sebaliknya. Setiap kali aku  hendak  pergi ke sekolah  pasti hujan  tumpah begitu lebatnya. Membuat seragam yang aku pakai basah kuyup. Bapak begitu terburu-buru mengayun sepeda tua peninggalan kakek sehingga nafasnya patah-patah, lemah. Kejadian  itu sudah aku alami beberapa kali.

Radio gantung sialan itu, aku bawa ke dalam kamar. Aku melangkah dalam keadaan buyar. Merabahkan  tubuh di atas tikar janur kumuh yang robek. Sedangkan Bapak menutup pintu rumah dengan penuh hati-hati.

***
Hujan diluar membungkus perkampungan. Petir menyambar. Suara guntur terdengar mengelegar. Hujan turun semakin deras. Udara terasa lebih dingin dan lembab. Aku melangkah malas menuju ke teras. Nasib, aku menghela nafas sebal padahal aku sudah terlihat rapi dengan seragam baru yang Ibu beli di pasar kemaren. Apalah daya hujan turun mengutuk selera untuk menjalankan aktifitas pagi ini tak begitu baik.

Bapak dan Ibu duduk diatas kursi, melihat kegelisahanku. Mereka berdua kelihatanya lagi berbincang-bincang. Tak tau tentang apa?. Aku memfokuskan diri mendongak menatap langit, petir kesekian kalinya menyambar, membuat gumpalan awan hitam terlihat memerah sepersekian kalinya, seperti gumpalan api memenuhi awan-awan hitam. Guntur bergemuruh membuat ngilu gendang telinga. Aku menghela nafas, kecewa. Kesabaranku mulai meluap. Beberapa kali aku terlambat pergi kesekolah karna hujan yang tak mau bersahabat.

Saat ini perasaanku benar-benar suram. Aku tidak bisa pergi kesekolah dan bertemu dengan teman-teman baru dikelas. Semoga saja hujan cepat reda.

“Nak, makan dulu nanti pasti hujan akan reda.” Bujuk ibu yang tengah duduk disamping Bapak sambil lalu mendengarkan bunyi radio yang masih tak jelas dengan bunyi serk...sek.

Aku menghiraukan Ibu. Aku lebih suka diam, melihat suasana yang berbeda saat ini. Tiba-tiba Bapak muncul dengan sepeda tua peninggalan kakek dari belakang rumah, seperti supermen ketika ingin membasmi musuh-musuhnya. Tersenyum bahagia, menawariku untuk naik ke boncengannya. Aku menyerigai. Bapak berada di antara taburan hujan, bajunya basah kuyup sesaat. Aku pun dengan berani melangkah, menghampirinya. Begitu dingin yang kurasa.

Bapak  hanya diam menatapku dalam keadaan ini. Bapak turun dari sepedanya lalu menaikkanku  ke tempat duduk belakang sepeda Forever-nya, mengikat kakiku ke tuas bawah sandal dengan tali agar tak terlibas jari-jari ban, kemudian membawaku pergi. Bapak begitu lihainya memedal sepeda tua, yang selama ini menjadi super perjuangan menelusuri jalan. “Ayo Pak lebih cepat lagi bawa sepedanya.” Aku dan Bapak sudah jauh meninggalkan jejak, melewati jalan berlumpur. Ini perjuangan seorang Bapak untuk membuat anak-anaknya selalu tersenyum.

Beberapa menit berlalu. Aku dan Bapak sudah sampai di halaman sekolah. Keadaan hening, tak ada suara terdengar. Bapak turun menyandarakan sepedanya ke tubuh pohon jambu yang ada didepan sekolah, langkahnya gamang menuju ke teras sekolah. Aku membuntutinya  dari belakang, menyeka bulir keringat di muka.

Sampai hujan reda, aku dan Bapak mematut di atas kursi panjang mulai dari tadi. Sudah lama menunggu tapi masih tak ada satupun orang yang bertandang, baik itu guru maupun teman-teman. Bapak hanya diam tak mengajakku untuk berbicara sepatah dua katapun, padahal aku ingin sekali mengajaknya pulang.  Ayolah ? kata itu tergiang dalam benakku.

“Apa ada acara besar yang membuat sekolah ini libur?” Bapak mulai berucap dengan suara serak, khasnya.

“Tak ada kabar apa-apa dari guru.” Aku yang semenjak dari tadi sibuk mengipas seragam memakai buku pelajaran.

Dari kejahuan terlihat seorang lelaki, usianya bisa dibilang 35 tahunan. Pakainya sederhana, kepalanya tertutupi capeng rambul yang terbuat dari bamabu. Dia memegang kayu panjang dan ember berwarna hitam. Aku sedikit ketakutan melihatnya. Sesampainya lelaki itu didepan Bapak, dia berkata.

“Lagi apa pak disini?”  Lelaki itu bertanya ketika hendak meletakkan ember diatas kursi panjang yang kami duduki.

“Saya lagi mengantarkan anak saya.” Bapak menjawab, dengan gerak sibuk menghapus keringat yang membasahi wajahnya.

Lelaki tua itu malah tertawa, parasnya yang mulai berkerutan seperti mengejek. “Sekarang kan hari minggu.” Ketika berucap seperti itu lelaki tua itu pergi dari hadapan Bapak.

Rasa bingung sesaat mengelanyut cepat. Apa ada yang salah dengan hari ini atau aku yang memang salah mengingat akan nama-nama hari. Padahal aku tidak pernah lupa hari minggu. Hari minggu kan hari yang paling baik untuk semua orang, termasuk aku. Aku pun pulang tanpa menghiraukan kembali semuanya. Sedangkan Bapak malah tersenyum sambilalu mengeleng kepala melihat aku pergi begitu saja. Hujan yang sekarang bukan sahabatku lagi. Saat itulah aku mulai membenci hujan dan lupa akan semua cerita yang pernahku lewati setiap tiba hari minggu.

                                     *Banyuanyar , 01 November 2018


"Pernahkah Anda merasakan sakit? anggaplah sakit gigi atau gigi sensitif. Jangan katakan Anda bertubuh kekar, bertubuh seperti Ade Ray pun hanya terkena penyakit sekecil denyutan sakit gigi saja sudah meringis kesakitan, apalagi yang kurus kering" 


Berlatih untuk memiliki kekuatan itu bagus, tapi merasa perkasa itu tidak benar. Kalimat ini mengajarkan kita untuk senantiasa bersyukur bukan takabbur. Jika kita hendak melakukan perubahan maka sulit bagi kita untuk bersyukur. Karena sejatinya bersyukur itu bukan dihitung dari arah perubahan kita, melainkan diukur dari sejauh mana kita menerima nikmat, rahmat, maghfiroh dan maunah-Nya untuk senantiasa mengingat dzat Allah yang luar biasa.

Pernah anda merasakan kesakitan yang amat. Misalkan sakit gigi atau gigi sensitif, dan anda mempunyai tubuh kekar ala Ade Ray, jangan sok dulu, karena kalau sakit gigi itu melanda, jangankan tubuh yang kurus, tubuh yang kekar saja terpontang-panting. Semuanya memang harus dijadikan hikmah, diambil pelajaran dan jauhkan sifat sombong yang berakhir dengan dibenci orang. Sekali lagi bersyukur, hal yang paling sulit untuk dijadikan sebuah kebiasaan.

Saat ini kita disuguhi dengan berbagai elektronik yang dihidangi untuk kepentingan pokok dan bertahannya globalisasi. Sehingga banyak yang berlomba-lomba untuk mejadi orang terkenal. Tindakan seperti ini mengajarkan kita untuk introspeksi diri, semuanya bisa dieliminasi untuk memfilter hal yang buruk dan berusaha memanfaatkan yang baik.

Karena yang Maha Perkasa hanya Allah, kita hanya la haula walakuwata illa billahil ‘aliyil’adzim. Hikmahnya kita harus sadar bahwa kita ini sepenuhnya punya kekuatan ruh dan dimiliki Allah dalam bentuk apapun. Oleh karena itu kita diajarkan untuk mentadabburi segala yang terjadi. Allah meletakkan rasa kantuk dalam diri manusia, jika kita sudah merasa ngantuk, maka jalan terbaik untuk mengobatinya dengan tidur. Tidak ada cara lain, jangan mengandalkan otot jika ngantuk melanda tubuh kita.

Saat ini banyak yang harus kita rubah agar segalanya terasa mudah dijalani. Kini banyak sekali bukti nyata yang mengharuskan kita untuk kembali merenungi nasib yang Allah berikan untuk tidak menjalankan dengan seenaknya saja. Melainkan dengan berusaha menggerakkan hati menuju jalan suci yang Allah cantumkan dalam kalam-kalam penuh makna dan kaya akan sastra. Perjalanan hidup memang sangat jauh berbeda dengan perjalanan kita dari Madura ke Jember.
Perbedaannya hanya dalam tujuan. Jika dalam perjalanan hidup kita bertujuan mengharap ridho-Nya, maka otomatis segala yang menjadi amal baik akan terlaksana sebagaimana disyari’atkan dalam Islam. Sedangkan perjalanan kita yang hanya sekedar liburan, kunjungan, kondangan dan semacamnya bertujuan agar senantiasa mengharapkan kehendak yang kita inginkan. Hal ini yang mengindikasikan bahwa segala yang menjadi tujuan kita akan termaktub dalam niat dan kehendak yang kita harapkan.

Destinasi inilah yang mengedepankan kesuksesan. Tujuan yang baik akan menghasilkan nilai moral yang baik pula. Ketergantungan akan usaha kita tak menjadi hal yang sakral dalam kehidupan. Karena sifat kebergantungan inilah yang menggerakkan kita untuk lemah dan tidak percaya diri. Memang di dunia ini kita butuh teman, namun tak selamanya kita harus ikut teman. Kita juga harus mempunyai prinsip yang membangun jati diri kita lebih baik.

Prinsip yang baik juga harus berawal dari niat yang baik. Hal ini yang menjadi tujuan akhir dalam prinsip yang kita miliki, tujuan akhir tersebut ialah mengharap ridho dan syafaat Rosul-Nya.

Semoga bermanfaat!

|11:33 AM
|Selasa 10 Oktober 2018
Oleh: Syaiba Fahuril

Derit lantang kini kalah pada debar
pesona pinggulmu, sayang.
Lalu-lalang begitu rel memanjang
Kepala menunduk
Perih mata
Gerah merah
Kaki linglung
Ketuk hati adalah janji abadi
"Lilitlah waktu agar tidak timbul cemburu"

Dari kejauhan basi
Sampai detik ini
Aku dan kau masih leluasa di kawal masalah atas salah mengerti.

Tidak sengaja ku dengar
Kau ingin leluasa memantau
Sedangkan cinta itu jauh di pulau.

Sudahlah, aku dan kau sudah punya lirik sedu sedang masing-masing untuk di kenang
Itu hanya perumpamaan antara puisi yang ku racing di tungku hati.

Madura, 20 Oktober 2018
Oleh: Syaiba Fahuril

Tragedi tak usai
Kemarau berkelana
Di jantung mega
Astaga...!

Kenapa tanah menyimak saja?
Padahal ini bukan lolucon yang pantas ditertawakan sesama

Aku ingin langit bernostalgia mengisir riak hujan

Basahi ribuan kehangatan yang sungguh gulita.

Apa karna kehidupan mulai menua?
Senyum rekah para petani secepat itu sirna
keangkuhan kita setara dengan dosa yang buncah

Berceceran bagaikan darah di masa kelam bersejarah

Kalau sekiranya aku harus memacu sujud yang bermusim?

Lebih pantaskah aku alunkan kata meminta pada Maha Kuasa

"Sepertinya gerah terlalu lama mengerogoti tubuh mendesak terhimpit desah, uh... ".

28 Oktober 2018

*Oleh: O. Ramadan


Hujan  deras mengguyur kota hari ini, membasahi seluruh areal bumi. Tanah becek. Trotoar basah. Lubang-lubang kecil di badan jalan menciptakan kubangan-kubangan air menyerupai anak kolam. Beberapa kendaraan lewat, ada opelet, bus kota, dan sepeda motor.

Aku duduk termangu memandangi beribu-ribu anak hujan yang berlarian menyentuh kulit bumi, tampiasnya membasahi teras terminal opelet. Sesekali badanku bergidik menahan terpaan sepoi angin yang menggerayangi tubuhku. Dingin.

Aku sengaja tidak menyuruh mang Mamat, sopir keluargaku menjemputku ke sekolah. Kali ini aku memilih pulang sendirian karena aku sedang disibukkan oleh kegiatan sekolah sepekan terakhir. Tugasku menjadi ketua panitia di acara tahunan OSIS telah menguras sebagian waktuku. Hari ini saja hampir satu jam kuhabiskan waktu untuk mempersiapkan segala persiapannya. Mengadakan rapat kepanitiaan hampir menjadi santapanku sehabis jam sekolah hingga selalu saja aku pulang sore hari.

Entah apa yang sedang dilakukan keluargaku di rumah sekarang. Mereka mencariku? Khawatir? Atau  Mama malah akan berteriak-teriak kesal menyuruh mang Mamat agar menjemputku ke sekolah? Aku tak tahu pasti. Tapi sejauh yang aku tahu selama ini, semua itu sangat jauh dari tabiat keluargaku yang semuanya disibukkan oleh urusan masing-masing. Mama yang berprofesi sebagai dokter, ia lebih sering berada di tempat praktek daripada menungguku di rumah. Pulang larut malam bahkan terkadang menginap di rumah sakit. Ayah? Ah, jangan tanyakan lagi. Menjadi seorang pebisnis, membuat ayahku seringkali keluar kota bahkan keluar negeri. Kemarin saja beliau ke Singapore, katanya ada rekan bisnisnya yang ingin membuka cabang baru di Indonesia. Kami sangat jarang berkumpul. Aku lebih sering menghabiskan waktu  di rumah seorang diri ketimbang bersama mereka.

Beberapa saat berlalu, sepi masih bersarang di tempatku. Telah menjadi kebiasaanku untuk menikmati sepi yang memang sudah hampir menjadi menu wajibku setiap hari. Aku putar lagu-lagu asyik hingga berjam-jam. Seperti yang sedang kulakukan saat ini, ditengah denting hujan yang kian memekakkan telinga, aku  sumbat kedua telingaku dengan headset, memutar lagu-lagu POP kesukaanku. Terdengar alunan indah lirik I’m Your’s-nya Jazon Marz mengiang di telingaku. Disusul oleh lantunan indah Not With Me-nya Bondan, sangat cocok untuk menemani kesendirianku saat ini.

Tepat di seberang jalan, kulihat ibu-ibu berjalan mengitari toko mainan sambil menggandeng tangan anaknya. Sesekali anak itu tersenyum riang, sumringah menarik-narik tangan ibunya. Aku menelan ludah, mengingat bagaimana dulu aku menghabiskan masa kecilku dengan berkawan sepi. Kadang aku merasa bentuk kemewahan yang aku miliki  saat ini tiada artinya. Aku iri.

***
Tak biasanya Mama berada di rumah sesore ini. Biasanya ia akan pulang dari rumah sakit tengah malam nanti. Alasannya? Ah, aku sudah hafal luar kepala. Pasien lagi menggunung lah, banyak berkas yang  harus dicek ulang, selalu saja begitu. Tapi kali ini…?
“Hai, Sayang…” Mama menyambutku hangat. Aku mengernyitkan kening, bingung. Ada apa? Mimpi apa aku semalam?

“Tumben Mama pulang awal…?” tanyaku bingung.

“Mama lagi gak banyak pasien hari ini, Sayang… Lagian bagus, kan, Mama pulang awal. Oh, iya. Tadi Mama ketemu Maria, anak baik  itu…”

Aku diam. Andai saja setiap hari ia begini, mungkin aku akan sangat bahagia. Maria…? Aku tiba-tiba teringat gadis itu lagi. Ya, gadis yang kita temui rumah sakit tempat Mama praktek. Gadis yang belakangan ini sering mengganggu fikiranku.  Jujur saja, masih ada rasa cemburu yang merengkuh batinku. Aku merasa, ia adalah bayangan yang senantiasa mengejekku, menertawakan kekonyolanku. Dia sangat cantik dengan jilbab yang tergerai menutupi kepalanya. Tapi mendengar Mama selalu membanding-bandingkannya denganku, sungguh membuatku jengah. Belum lagi mendengar segala kebaikannya yang selalu Mama sebut-sebut di depanku.

“Marina, Sayang… Nanti malam Mama ada acara reuni bareng teman-teman SMA Mama, kamu ikut, ya…?” Sudah bisa kutebak, semua pasti ada maunya. Aku diam tak bergeming. Reuni…? Persiapan acara sekolah, kan, tinggal menghitung jari lagi dan aku harus cepat-cepat menyelesaikan tugas yang masih belum selesai. Aku tidak mungkin ikut.

“Aduh, Mam…” Belum sempat aku angkat bicara, aku telah lebih dulu dibekuk dengan kata singkat khasnya. “Tidak ada tapi-tapian!”
“Akh, Mama…” rutukku.

Tempat ini terasa ramai sekali. Beberapa pria setengah baya dan para wanita memenuhi ruangan ini. Hanya ada beberapa orang yang seumuran denganku. Mungkin mereka bernasib sama denganku. Kulayangkan pandanganku ke setiap sudut ruangan. Kulihat seorang pemuda berpenampilan cool mampu menarik perhatianku untuk menyambanginya.

“Hai, Zen. Datang juga?”

Namun sayang, langkahku untuk menghampirinya tertahan saat sesosok gadis berjilbab tiba-tiba datang dan menyapanya. Dia lagi! Ya, siapa lagi kalau bukan Maria. Gadis itu tengah berbincang dengan lelaki yang kumaksud tadi. Kenapa pula selalu ada dia? Akh!

Aku memutar balik arah jalanku menuju kursi di pojok ruangan. Duduk diam sembari sesekali mengerlingkan pandangan ke arah mereka berdua. Mama? Ah, dia terlalu asyik mengobrol dengan teman masa mudanya di jantung ruangan. Sesekali derai tawa meningkahi suasana di sana. Ada rasa kesal yang masih bergelayut di dadaku. Lihatlah si Maria itu, dia seperti sengaja melakukan semua ini di depanku. Pamer keakraban dengan pemuda itu.

“Ini Marina. Anak saya, Jeng…” ucap Mama yang entah sejak kapan telah berdiri tepat di sampingku. Aku malas menanggapi celoteh Mama pada seorang temannya.

“Cantiknya, Jeng…” timpal seorang wanita yang sedari tadi berdiri di samping Mama. Aku menoleh sedikit bangga.

“Iya, dong. Siapa dulu mamanya…?”
Mereka lalu tertawa.

***
Belakangan ini Mama terlihat amat dekat dengan Maria. Tak jarang dia ke rumahku. Aku semakin tak tenang, takut kalau pelan-pelan dia akan merebut perhatian Mamaku, mengambil alih kedudukanku di rumah ini. Mendepakku jauh-jauh! Tak akan kubiarkan itu terjadi. Mama adalah Mamaku! Memangnya siapa pula gadis itu? Dia hanya seorang gadis yang tidak ada apa-apanya dibandingkan aku.

“Maria itu cantik, ya. Apalagi dengan jilbab yang selalu tergerai menutupi kepalanya,” ucap Mama  di sela-sela makan malam. Sungguh selera makanku perlahan melemah. Aku paham betul arah pembicaraan Mama, lagi-lagi pasti tentang pembeberan segala kebaikan gadis itu. Lalu membanding-bandingkannnya dengan tabiatku.

“Tadi Mama bertemu dia di tempat kerja, dia nitip salam buat kamu.”

Salam…? Aku yakin, dari sekian banyak pola hidupnya yang selama ini Mama anggap baik, semua itu tidak sedikit pun di dasari dengan hati yang ikhlas. Di depan orang saja dia baik, tapi dibelakang, siapa yang tau…

“Ma, besok pagi Mama kerja?” Kualihkan pembicaraan untuk mencairkan suasana hati yang sebenarnya aku akui sedikit memanas. Sesaat diam, menunggu jawaban Mama yang masih asyik mengunyah makanan. 

“Gak. Emangnya kenapa?” Sejenak melirik ke arahku lalu fokus menyantap makanan.

“Marina mau ngajakin Mama jalan-jalan. Sesekali ke Mall bareng, gitu…”

Mama menggeleng tegas. Selalu begitu. Jawabanya pasti itu-itu saja. di waktu-waktu lalu aku masih bisa memaklumi karena Mama memang sering disibukkan oleh pekerjaannya. Tapi, kali ini? Akh… baiklah aku mengalah. Kulanjutkan makan malamku lalu beranjak menuju kamar.

***
“Hai, Maria…”
Tersenyum menyambutku keluar dari balik pintu. Aku diam dan tak menjawab. Ada apa pula dia datang sepagi ini?

“Gak ke sekolah, Mar?” tanyanya lagi. Sok akrab. Padahal aku jarang bertemu dengannya. Sekali pun bertemu, aku tidak pernah berbicara dengannya.

“Gak,” jawabku singkat. Mengalihkan pandangan ke langit-langit teras, sengaja tidak kusuruh dia masuk terlebih dahulu. Ia masih berdiri tepat di depan pintu.

“Mama ada?”
“What?! Dia bilang apa? Mama?!” batinku. Aku menghela nafas panjang, tersentak.

“Eh, maksudku Tante ada…?”
“Mama udah berangkat ke kantor,” jawabku ketus, berbohong. Jelas-jelas Mama masih ada di kamar sedang siap-siap.

“Ah… Masa iya Tante sudah berangkat? Kemarin Tante bilang minta aku disini.” Nadanya menyelidik curiga.

Sekali lagi aku menghela nafas panjang, khawatir. Bagaimana tidak? Mama ada janji dengan gadis ini, tanpa sepengetahuanku. Kenapa semalam saat aku mengajak Mama jalan-jalan Mama bilang ada urusan penting. Inikah urusan pentingnya? Berjalan-jalan dengan seorang gadis yang sudah jelas sangat tidak kusukai.

“Hai, Maria! Udah lama nunggu, ya?” Aku kaget saat tiba-tiba Mama muncul dari balik pintu, kebohonganku terbongkar. Terlihat jelas aku menahan malu.

“Sayang, kenapa Maria gak kamu ajak masuk?” Mama menyentuh pundakku. Aku mendelik diam-diam ke arah gadis itu. Dia malah tersenyum tipis kepadaku.

“Ma, aku mandi dulu ke dalam,” aku buru-buru masuk, beranjak dari hadapan mereka berdua. Tak kuat rasanya jika harus berlama-lama melihat gadis itu. Bisa-bisa emosiku naik ke ubun-ubun.

Di kamar, aku membanting tubuhku ke atas ranjang. Tidak langsung mandi karena tentu saja aku sudah selesai mandi sejak subuh tadi. Fikiranku malah terus mereka-reka kejadian menyebalkan tadi. Jika saja aku tidak berbohong dengan dalih pura-pura hendak mandi, mungkin sekarang sudah akan terjadi perang dunia antara aku dan gadis itu.

Aku menyembulkan kepala ke ruang tamu yang memang agak berdekatan dengan kamarku, kulihat gadis itu tengah berbincang dengan Mama.

“Gimana kalo kita ajak Marina ke tempat itu Tante?”

“Hmm… Ide bagus. Tante bilang dulu ke Marina, ya.”

Lekas aku melompat ke tempat tidurku saat menyadari Mama menuju kamar. Sesegera mungkin aku menyisir rambut, pura-pura selesai mandi. Mengajakku? Memangnya mau kemana mereka? Apakah ini adalah bagian dari taktik lain gadis itu untuk mendapatkan perhatian Mama? 

“Sayang, Maria ngajakin kamu keluar bareng kita, tuh…” Mama muncul dari balik pintu. Aku  tak  sedikit pun mengalihkan pandangan dari cermin, berpura-pura merias wajah layaknya orang baru selesai mandi.  “Mau ikut nggak, Sayang? Kemaren kamu bilang ingin mengisi waktu libur…” bujuk Mama.

Aku diam, menimbang-nimbang sejenak. Kalau aku tolak tawaran Mama, aku akan sendirian di rumah. Apalagi Bi Inah sejak kemaren pulang kampung. Tapi kalau aku ikut, aku sungguh malas satu mobil dengan gadis itu. Setidaknya kalau aku ikut, aku bisa tahu apa saja yang direncanakan oleh Mama dan gadis itu.

“Ya, deh. Aku ikut. Aku ganti baju dulu, Ma.”

Pagi ini jalan tidak terlalu ramai. Jadi sepanjang perjalanan, aku bisa bersantai-ria sembari sesekali mendengarkan percakapan serius Mama dan Maria. Aku kesal melihat keakraban mereka. aku tidak bisa menjadi penengah saat pembicaraan mereka terlihat sangat serius. Seperti biasa, aku memilih menyumpal kedua telingaku dengan headset. Sesekali gadis itu menoleh ke arahku yang duduk di jok belakang. Sesungging senyum membuatku mual. Mungkin jika tidak ada Mama, aku sudah melabrak mulut mungilnya.

“Tante, Mar… Kita udah sampai…” ujar Maria tetap dengan sesungging senyum yang membuatku tak tahan melihatnya.

“Senyum yang di buat seanggun mungkin untuk mengejekku,” fikirku dalam hati.

Kami turun tepat di depan salah satu bangunan kecil yang sangat sederhana. Hanya ada satu lantai, tidak seperti di rumah. Aku beberapa kali mengernyitkan kening bingung. Kulihat Mama dan Maria malah tidak henti-hentinya tersenyum.

“Ayo, Tante, Mar, kita masuk. Di dalam anak-anak pasti udah nungguin.”

Anak-anak? Apa maksudnya dia sudah punya anak? Tidak mungkin! Aku memutuskan menyimpan berbagai macam pertanyaan yang nyaris tumpah dalam pikiranku. Aku pikir, tanpa bertanya pun, aku bisa mendapatkan jawabannya di dalam rumah sederhana ini. Aku melangkah memasuki pagar kayu. Kulirik Mama, Mama malah tersenyum misterius ke arahku.

“Kakak Maria… Kakak Maria…”
Hanya beberapa langkah kami memasuki gerbang, tiba-tiba suara teriakan anak-anak kecil mengagetkanku dari arah pintu. Segerombol anak berlarian menghampiri kami bertiga. Takzim anak-anak itu menyalami Maria, Mama dan Aku.

“Ini pasti kak Marina yang kak Maria pernah ceritain ke Bela. Wuah… kak Marina memang cantik! Persis seperti yang kak Maria bilang.” Salah satu dari anak-anak yang bergerombol itu menyalamiku. Aku terperangah mendengar penuturan gadis kecil itu. Maria bercerita tentang aku kepada anak-anak itu? Bilang bahwa aku cantik di depan anak-anak itu? Aih….

“Ini pasti tante Mira, Mama kak Marina,” ujar anak itu lagi sembari menyalami Mama.

“Oh iya. Kenalin, Mar, Tante, ini Bela. Salah satu anak panti ini,” Maria tersenyum lembut. Panti? Bukankah panti adalah…

“Hmm… gimana, Tante? Bisa kita mulai sekarang ?”

“Tentu saja, Maria…” Mama mengangguk, melirik ke arahku. Aku yang masih belum paham pangkal masalahnya, akhirnya mulai mengerti saat seorang perempuan seumuran Mama muncul mempersilahkan kami masuk.

“Anak-anak sudah siap, Non.  Mereka ada di dalam,” ucap perempuan itu pada Maria. Sejurus kemudian Maria mempersilahkan kami untuk masuk. Sekali lagi Mama melirik ke arahku. Seakan tahu apa yang tengah berkecamuk dalam fikiranku. Ya, tentu saja aku malu sebab telah salah sangka pada si Maria. Lihatlah orang yang selama ini aku curigai macam-macam ternyata adalah seorang gadis polos, bahkan ia adalah gadis penyanyang anak-anak malang yang kehilangan keluarganya. Dia selama ini meminta Mama untuk mengadakan praktek pemeriksaan pada anak-anak panti yang terserang penyakit demam berdarah. Ya, hanya itu. Tidak lebih. Lalu, Zen? Lelaki itu ternyata hanya teman satu kampus Maria yang ikut serta membantu proses kerja samanya dengan Mama. Lihatlah di seberang sana, Zen tertawa riang bersama anak-anak lain.

“Mau minum apa, Mar?” ujarnya tersenyum menghampiriku yang tengah duduk di sofa ruangan depan. Aku menahan ludah. Malu!

Sekian
 Istana kata, 4-Desember- 2013


*Oleh: Ubai Setiawan


Perlahan namun pasti setangkai mentari beranjak dari peraduannya. Meninggalkan sketsa keemasan di ufuk timur. Buliran embun membasahi dedaunan serta desiran angin membelai pohon cemara yang berderet-deret laksana pasukan perang nazi kuno. Kicauan burung-burung yang beterbangan dari ranting satu ke ranting yang lainya, seakan menambah  pagi ini begitu indah. Aku duduk manis di serambi rumah sambil menikmati kopi pagi. Kupandangi gunung yang berdiri gagah di depan sana. Mataku tak jemu berkedip memerah sebab aku lembur semalaman menangani pembunuhan yang akhir-akhir ini menguras tenagaku. Sebagai seorang komandan di kepolisian, aku harus mengabdikan seluruh tenagaku.

Tiba-tiba, lagu “One Direction” mengalun dari hpku. Kupandangi hp yang tergletak di meja “Barry calling”. Kuangkat…

“Ya. Halo! Ada apa, Bar?”

“Ada pembunuhan lagi, Pak!“ Terdengar suara dari seberang.

“Dimana?”
“Di sebuah rumah, tepat di pinggir jalan Stallin.”

“Ya. Tunggu aku di sana. Segera amankan lokasi sekitar kejadian itu. Sepuluh menit lagi aku sampai!”

“Siap, Pak!” Kumatikan hpku lalu kembali ke kamar memakai baju lengkap. Sejenak kupandangi wajah istriku yang masih tertidur pulas, mengecup keningnya sebentar. Lalu keluar beranjak ke garasi. Detik berlalu, aku sudah keluar dari rumah dengan kecepatan tinggi menuju TKP. Beberapa menit kemudian, aku sudah sampai di tempat kejadian. Terlihat masyarakat sekitar mengerubungi TKP. Aku turun dari mobil, terlihat Barry mendekatiku.

“Bagaimana?” tanyaku pada Barry.
“Sekitar TKP sudah diamankan, Pak.”
“Oke!” Aku langsung menuju tempat kejadian, diikuti oleh Barry dan seorang polisi lagi. Setelah sampai di sana, kulihat korban tergeletak dengan tangan terikat. Mulutnya mengeluarkan darah yang terus mengalir. Bajunya compang-camping, bertanda sebelum dibunuh, ia disiksa terlebih dahulu.

“Ada barang bukti yang ditinggalkan pembunuhnya?” Tanyaku pada Barry.

 “Tidak ada, Pak. Hanya saja, pada korban yang sebelumnya, pembunuh meninggalkan sayatan bintang terbalik di punggung korban,” jawab Barry panjang lebar.

Aku melangkah mendekati korban. Benar saja, di punggung korban ada semacam simbol bintang terbalik yang disayat menggunakan alat yang tajam semacam silet.

“Saksi mata mengatakan bahwa sebelum korban dibunuh, korban dibacakan mantra seperti sedang dihipnotis, Pak!” ucap Barry lagi.

“Oke… Kumpulkan semua data-data penting, lalu kirimkan ke markas.”
“Siap, Pak!”

***

Di sebuah tempat yang mirip loge, terletak di antara apitan rumah-rumah besar, puluhan orang memakai jubah berwarna hitam pekat dengan penutup yang mirip caping sedang mengelilingi sebuah tongkat panjang berukuran setengah meter. Di atas tongkat itu ada bintang David yang terbuat dari emas dan di bawahnya dikelilingi piramida-piramida kecil dengan simbol Lucifer di atasnya. Sambil membaca mantra dan memuji Yahwah, tuhan mereka, ketua yang terdepan mengambil cawan berisi darah segar lalu mengguyurkan darah tersebut pada tongkat itu. Setelah selesai, dia mengisi cawan itu lagi dengan darah kemudian diminum secara bergantian.

***

“Gimana, Pa? Udah ketemu pembunuhnya?” tanya istriku, pada saat kami sedang sarapan pagi bersama.

“Belom, Ma. Masih diselidiki lebih dalam lagi,” jawabku sambil mengelap mulut lalu meminum segelas susu yang ada di atas meja. Lantunan nyanyian Jenifer Lopez mengalun indah dari hpku yang teronggok di atas meja. Kuangkat panggilan dari hpku.

“Bagaimana, Bar?” tanyaku santai.
“Saya mau melaporkan, Pak. Ternyata simbol bintang terbalik itu adalah milik kelompok penyembah setan, Pak!“ jawab Barry dari seberang. “Dan sekarang kami menemukan markasnya, Pak. Markas itu terletak di kawasan rumah-rumah elit,” lanjutnya.

“Tempatkan orang-orangmu di sana. Nanti malam kita kepung markas mereka!“

“Siap, Pak!” lalu hubungan terputus.  Aku langsung menyambar kunci mobilku, lalu beranjak keluar menuju garasi. Beberapa menit kemudian, mobilku sudah menelanjangi punggung jalan menuju markas kepolisian Alasanta.

***

Tepat jam 11:00 malam, aku langsung terjun ke tempat sasaran, memimpin pasukan elit polisi Alasanta untuk mengepung dan “mengamankan” komunitas yang sudah membuat gerah dan cemas negara Alasanta. Dengan mengendap sambil memberikan aba-aba, aku masuk melalui pintu belakang diikuti sepuluh anak buahku, sedangkan yang lain berjaga-jaga di luar, mengepung loge (sasaran). Terdengar nyanyian mantra dilantunkan dari dalam, diikuti oleh suara yang lebih banyak. Dengan langkah pelan namun pasti, aku masuk ke dalam. Terlihat di antara celah-celah jendela, segerombol orang sedang mengelilingi tongkat David sambil melantunkan mantra. Aku menoleh pada Barry yang berada tepat di belakangku, dia mengangguk. Dengan hitungan ke tiga, Barry langsung menendang pintu di depan. Brak!

“Jangan bergerak! Angkat tangan!” ucapku. Detik berlalu, mereka sudah terkepung. Telihat raut wajah mereka terkejut melihat kedatangan kami. Setelah di borgol, mereka di bawa ke luar menuju mobil tahanan. Aku  dan Barry masih belum  berlalu. Kami  melihat-lihat tempat yang berbau anyir karna darah ini. Kubawa tongkat David itu keluar bersama Barry. Di luar, aku dekati pimpinan penyembah setan itu. Wajahnya yang sudah keriput, rambutnya yang memutih dengan tangan terborgol, menatap lekat pada tongkat David lalu beralih memandangku tajam. Ada amarah yang mengembang di sana.

“Siapa nama anda?” tanyaku pada laki-laki  itu. Namun, tak ada jawaban seperti yang aku harapkan. “Siapa nama anda?” tanyaku lagi. Matanya tak berkedip menatapku.

 “Cuih!” laki-laki itu meludahiku.
“Kurang ajar!” ucapku sambil mengusap ludahnya di wajahku. Dengan kemarahan meledak-ledak, kuletakkan moncong pistolku di keningnya. DOOORR!!! Laki-laki itu terkulai lemas di hadapanku. Semua mata memandangku. Aku heran, tak terkecuali Barry yang sedang memegangi seorang tawanan yang memberontak.

“Bawa mereka ke markas dan hukum pancung semuanya!“ ucapku, lalu masuk ke dalam mobil diikuti pasukanku.

***
Pagi kembali menyapa. Tak jemu menemani dunia yang semakin menua, menanti kehancuran tubuhnya yang tinggal menunggu perintahNya. Di bawah lampu kristal di dalam rumah mewah, berdiri tepat di pinggir pantai Golleong, De Muller, pendiri kelompok penyembah Satanic sedang berbincang dengan Don Juan.

“Bagaimana keadaan para jemaat?” tanya De Muller pada Don juan, si pelapor kejadian yang menimpa cabang mereka di pusat kota Alasanta.

“Semua jemaat ditangkap rabbi, sedangkan Abraham terbunuh dengan luka tembak di dahinya,” jawab Don Juan.

“Kurang ajar! Kita harus balas perlakuan kejam ini!” hardik De Muller dengan geram sambil mengepalkan tangannya Matanya merah padam menyiratkan bahwa dia teramat sangat marah. Setelah berbincang, lima menit kemudian, mereka berdua sudah keluar dengan mobil masing-masing.

***
Malam kembali menyapa dengan wajah sunyi bertabur tanda tanya. Deburan bintang-gemintang menambah suasana nampak indah meski tanpa sapaan cahaya rembulan di rumah berlantai dua. Maria Sabetli gelisah menunggu suaminya yang belum datang dari kantor polisi, tak seperti biasanya dia sampai lambat seperti ini.

“Ke mana suamiku? Kenapa belum datang juga…” ucap Maria Sabetli dengan wajah gelisah nan muram. Belum sempat dia melanjutkan ucapannya, suara bel berdenting dari depan rumah. Dengan langkah terburu-buru, Maria beranjak ke pintu dengan senyum merekah untuk menyongsong suaminya yang akhir-akhir ini lelah nan sibuk memberantas pembunuhan yang kerap terjadi. Dengan tenang, Maria memutar kunci lalu memutar gagang pintu, belum sempat pintu terbuka lebar, sebuah letusan terdengar dari luar. Detik berlalu, Maria terkulai lemas bersimbah darah di lantai.

***
Di ruang kantor, aku mengusap peluh yang mengalir di tubuhku. Tak seperti biasanya aku bermimpi buruk seperti ini. Tiba-tiba saja pikiranku teringat pada istriku yang hanya sendirian di rumah. Aku menyesal tak memberi tahu dia bahwa aku akan lembur malam ini. Ah.... Aku mendesah. Lalu menutup buku yang dari tadi menemaniku. Dengan perlahan, kuletakkan buku itu di atas meja sambil kembali menyeruput kopi yang dari tadi tak tersentuh. Detik berlalu, aku sudah meninggalkan buku berjudul Satanic yang tergeletak sendiri di meja ruang kerjaku.(*)

*Oleh: O. Ramadan


Angin sore berhembus begitu kencang, membuat layanganku seketika meliuk-liuk tak karuan. Aku, sang tuan layangan malah kewalahan  untuk “mengambet” serta “mengulur” senar. Kulihat tidak hanya layanganku saja yang sedari tadi meliuk-liuk tak karuan. Disebelah sana, Rohim juga tampak kerepotan untuk mengulur senar. Bentuk layangannya yang lumayan besar menghasilkan daya hentak yang kian berat.

Aku mempererat genggamanku pada senar. Angin belum juga kunjung tenang. Layanganku yang memang sudah sejak awal tidak seimbang, sontak saja geraknya makin menggila. Berputar-putar tak menentu. Daya tarik yang dihasilkan pun kian menaik, membuatku makin kewalahan untuk mengendalikannya. Tes…! Senar yang sekarat itu merenggang nyawa tepat di ujung kuku jempolku yang sedikit tajam. Ya, kuku jempolku tidak sengaja telah memotongnya.

“Layang-layang putus… Kejar…!!!” Tiba-tiba teriakan itu melengking keras dari arah utara. Seperti biasa, setiap ada satu layangan putus, segerombol anak akan berteriak-teriak kencang dan berbondong-bondong mengejarnya. Kadang di hari-hari lain, aku turut serta dalam rombongan yang berjumlah sepuluh hingga delapan belas orang itu, adu lari cepat menerobos rimbun semak. Berebut sebuah layangan. Jika sedang beruntung, terkadang aku pulang dengan senyum puas sambil memamerkan hasil tangkapanku di depan teman-teman yang menjadi sainganku.

“Kejar...!” layanganku melambung semakin jauh. Terbawa angin ke arah utara diikuti teriakan menghilang anak-anak sebayaku memasuki semak kebun karet yang berderet-deret di semenanjung lahan. Aku? Entahlah… Kali ini aku tidak sedikit pun tertarik untuk ikut bergabung dengan mereka. Aku diam saja menatap layangan yang kian mengabur dari pandangan. Angin membawanya terbang jauh, menyatu dengan warna langit senja yang  mulai sedikit memerah.

Terlepas dari itu, baru-baru ini tersiar kabar tentang seorang anak dari kampung sebelah yang tidak kunjung pulang setelah mengejar layangan di rimbun semak. Bahkan hingga kini, belum jelas kemana perginya bocah malang itu. Sebagian masyarakat yakin bahwa anak itu telah dibawa oleh Mojang, penghuni semak itu.

Kampung kami, suku Melayu, memang terbilang berdekatan dengan kawasan pemukiman Mojang. Hanya perlu melewati beberapa kilometer rimbun semak, kita sudah sampai ke perbatasan Bagan Tua. Tapi, tidak sembarang orang bisa ke sana. Jika ada yang berani masuk, jangan harap ia akan kembali. Dan itulah sebab musabab aku tidak ikut masuk ke semak sore ini.

###

Biasanya, ketika menjelang maghrib, anak-anak kampung akan berduyun-duyun pergi mengaji ke surau Pak Hamim.  Tawa bederai di sepanjang jalan, menyapa rumah-rumah panggung yang berjejer  di tepian tembok kecil. Lampu-lampu minyak menjadi penerang utama di setiap rumah dan surau. Letak kampung yang terbilang sangat jauh dari ibu kota, menyulitkan listrik masuk ke kampung ini. Namun meski demikian, hal itu sama sekali tidak menghentikan aktivitas masyarakat di sini. Seperti halnya di persimpangan utara kampung yang setiap malam menjelang, para bujang akan berkumpul meramaikan malam dengan irama timpuk gaple, sesekali pula gelak tawa mengimbangi sahutan jangkrik di sekitar.

Tapi tidak malam ini. Ya, selepas magrib tadi, dua keluarga merana dilanda kesedihan dan cemas. Buncah oleh ringkik tangis. Dua bocah seumuranku, Fikri dan Ilham, tidak kunjung pulang dari sore tadi. Kulihat mereka turut serta menyusuri semak bersama gerombolan anak-anak tadi sore. Tidak ada yang tahu kemana mereka! Teman-temannya pun yang juga ikut memasuki semak menggeleng lesu. Bu Halimah, ibunda Fikri malah berkali-kali pingsan di pagkuan suaminya.

Mendengar kabar itu, bulu kudukku seketika berdiri serempak. Bayangan menyeramkan tentang  Mojang tiba-tiba melenggang di benakku. Sudah sejak dua menit yang lalu bunyi kentong dari persimpangan utara kampung menggema. Para bujang serta para kepala keluarga berkumpul di persimpangan bersama tetua kampung, sedang anak-anak sepertiku beserta ibu-ibu bebondong-bondong mendatangi rumah kedua bocah itu. Aku dan Mamak tak ketinggalan ikut menjenguk kelurga korban yang kebetulan letak rumah mereka tidak terlalu jauh dari rumahku. Sesekali di tengah perjalanan, Mamak mengoceh memperingatiku agar tidak sering berkeliaran di kebun itu. “Ingat itu, Jang!!” tegas Mamak. Aku diam mengikuti langkahnya dari belakang.

 Di persimpangan, para bujang dan kepala keluarga berkumpul membentuk barisan. Beberapa obor dari batang bambu mengimbangi cahaya rembulan yang tampak separuh badan. Di depan mereka, tetua kampung tampak khusyuk berbicara.

“Satu kelompok menyusuri semak dari sebelah timur dan saya sendiri akan memimpin kelompok lain masuk dari arah barat,“ lantang tetua kampung membagi tugas membuat semakin tampak jelas sebagian kulitnya yang  mulai mengendur di tarik usia itu.

“Dan ingat, jika jam sepuluh malam kedua anak itu  belum juga ditemukan, kita berkumpul  di perbatasan Bagan Tua!“ lanjutnya yang kemudian disusul teriakan mengiyakan dari kedua rombongan. Mereka pun  masuk ke rimbun semak, menggunakan obor sebagai penerang jalan.

###

Aku yang sedari tadi duduk di antara kerumunan anak-anak yang lain, sesekali bergidik membayangkan kejadian menyeramkan itu. Sesekali aku mengatupkan rahangku saat Rohim mengutarakan dugaan menyeramkan mengenai nasib Fikri dan Ilham. Setahuku ada riwayat menyeramkan tentang  Mojang yang pernah kudengar dari cerita Mamak sebelum tidur. Mamak mengatakan kalau mereka akan melakukan suatu ritual mistis setiap kali ada orang asing yang masuk ke kawasan mereka dan konon mereka akan membunuhnya.

Suara tangisan yang semakin pecah membuyarkan ingatanku. Rupanya, rasa takut telah menjalar ke setiap jengakal akal fikiran mereka. Berkali-kali ibu-ibu yang lain  termasuk juga Mamak, mencoba menenangkan mereka. Tapi bagai angin yang hinggap lalu pergi, sepintas saja bujukan-bujukan itu mampir di telinga  kedua ibu itu, selepas itu hilang ditelan rasa cemas.

###

Di kejauhan sana di antara rimbun semak, kelompok yang di ketuai kepala kampung telah memulai aksinya. Melibas segala sesuatu yang menghalangi jalan, menyusuri rimbun semak. Teriakan-teriakan memanggil dua bocah itu menjadi lagu wajib yang tiada henti disenandungkan sepanjang perjalanan. Menjadikan suasana mencekam terasa kian sempurna. Di lain tempat, para bujang  melakukan hal serupa, melibas semak-semak yang menutupi jalan. Sesekali juga mereka berteriak-teriak memanggil dua anak itu.
Ada cerita menyeramkan mengenai rimbun semak itu, yang sering Mamak ceritakan kepadaku. Kata Mamak, dulu rimbun semak yang menjadi pembatas antara kampung kami dengan kawasan kelompok Mojang adalah tanah lapang yang dipadati perumahan. Rumah-rumah panggung berjejer teratur di sepanjang tanah. Melayu dan suku pribumi pulau ini hampir berbaur menjadi dua suku yang hidup damai. Tapi seiring pergantian waktu, sebuah masalah datang melahirkan bencana yang berujung pertentangan besar antara dua suku. Entah permasalahan apa yang Mamak maksudkan. Aku tak tahu pasti, sebab memang Mamak juga tidak pernah menceritakan hal itu padaku. Tapi yang pasti, sejak saat itulah terjadi bencana besar yang meneteskan banyak darah. Ya, kawasan itu kemudian dibiarkan begitu saja, sebagai pembatas, dengan sebuah perjanjian tidak tertulis antara tetua kampung dengan kepala suku. Akh.. aku sering merengek ketakutan setiap kali Mamak menceritakan bagian ini.

Jam 21:30 malam. Belum ada kabar pasti yang menunjukkan keberadaan dua bocah malang itu. Tetua kampung mulai cemas, terlihat jelas dari rona wajahnya yang tampak tak setenang tiga puluh menit yang lalu. “Setengah jam lagi!” pikirnya. Ya, setengah jam lagi mereka sudah harus berkumpul di perbatasan Bagan Tua. Jika tiga puluh menit lagi dua anak itu belum juga ditemukan, tak ada pilhan lain selain beramai-ramai memasuki kawasan terlarang Mojang. Atau malah pulang dengan tangan hampa.

Beberapa ratus meter lagi mereka tiba di perbatasan. Lelaki tua itu nampak semakin cemas. Sementara di atas sana rembulan sedikit demi sedikit mulai benderang. Awan tipis yang sejak jam tujuh tadi berarak di sekitarnya, kini beranjak perlahan ke arah utara. Ada riwayat menyeramkan yang perlahan berkelebat di benak lelaki paruh abad itu. Mengenai perjanjian tidak tertulis tiga puluh tahun silam antara tetua kampung dengan raja Mojang. Jika ada  penduduk yang berani masuk ke kawasan terlarang itu tanpa idzin, jangan harap ia akan kembali. Kini satu persatu dari rombongan itu mulai menampakkan keresahan. Wajah-wajah di bawah obor itu kini berkeringat dingin.

###

Satu lagi cerita seram Mojang yang aku dengar dari penuturan orang-orang, bahwa Mojang adalah  salah satu suku yang  masih begitu mengagungkan tradisi leluhur mereka. Kebiasaan yang masih sangat asli membuat mereka begitu ditakuti. “Kanibal!” Begitu kata orang-orang.

“Aku takut, Jang…” Rohim beringsut merapatkan badan menyentuhku. Entah ada angin apa. Padahal, baru saja dia tiada henti tertawa-tawa bersama anak-anak lain di beranda rumah. Persis anak berang-berang yang gembira saat permohonannya agar hujan turun, terkabulkan.

Di atas rumah panggung itu, rembulan sempurna bersinar terang. Angin sepoi menerpa dedaunan jambu di samping rumah itu. Keluarga dua bocah itu tidak henti-henti menangis.

###

Tetua kampung telah lebih dulu tiba di perbatasan Bagan Tua. Dia beserta rombongan yang dipimpinnya berkumpul di depan sebuah warung beratapkan anyaman daun sagu itu. Obor-obor yang sejak tadi mereka pegang, kini ditancapkan ke tanah sebagai sarana penerang. Kecemasan kini benar-benar membuncah di antara deru pelan angin yang meningkahi wajah-wajah mereka. Keringat dingin mengucur tanggung. Tak terkecuali dengan wajah lelaki paruh abad itu, kehilangan warna. Ya, sudah jam 09:50 malam, kedua bocah itu belum juga ditemukan.

Berselang beberapa menit di perbatasan Bagan Tua, tiba-tiba dari arah timur segerombol orang berduyun-duyun membawa obor datang mendekat. Tetua kampung yang lebih dulu menyaksikan pemandangan itu merasa sedikit lebih tenang, ada sekintal harap yang menggantung di antara obor-obor itu. “Semoga mereka berhasil…” batinnya harap-harap cemas.

Sementara rombongan semakin mendekat, tampaklah beberapa bujang kampug dengan langkah tergesa, menuju ke tempat perkumpulan.

“Bagaimana, apakah kalian berhasil…?” Belum sampai rombongan itu menancapkan obor-obornya ke tanah, tetua kampung telah lebih dulu menyambut mereka dengan pertanyaan yang tentu saja jawabannya adalah tidak! Mendapati kenyataan buruk itu, tetua kampung terdiam. Menunduk cemas, berpikir sesuatu dengan beberapa orang yang tengah menyeka keringat dingin di bawah obor-obor itu, mereka tampak cemas.

Sementara itu di balik semak sana, di sebuah kawasan yang dipadati perumahan sederhana dengan atap jerami seadanya, malam begitu tenang. Kawasan Mojang! Tak tampak suasana gaduh tengah terjadi di sana. Lalu bagaimanakah dengan kabar dua anak itu? Kemana mereka?

“Pak tua! Pak, lihat di dalam Bagan itu. Seperti ada sesuatu…” Tiba-tiba salah seorang dari bujang yang tengah duduk menghadap ke arah Bagan itu menunjuk-nunjuk ke arah bias cahaya obor. Ada seseorang yang sepertinya tengah tertidur pulas di dekat pintu bangunan kecil di sana. Lekas Tetua kampung bergegas mendekati Bagan. Hati-hati sekali lelaki paruh abad itu menaiki tangga kayu yang berderit-derit, diraihnya ujung pintu pagar kayu setinggi paha yang menutupi bibir teras Bagan. Di tariknya keluar lalu terbukalah pagar kecil setengah tua itu. Sempurnalah terlihat dua sosok anak kecil tertidur pulas dengan dengkuran kecil  memecah keheningan.
”Alhamdulillah…”

EPILOG

“Kami dihantar oleh seorang lelaki gagah beserta rombongannya yang berpakaian aneh dari sebuah kawasan di balik semak ke Bagan Tua itu. Mereka membopong kami yang kelelahan. Lelaki itu sungguh baik. Lelaki itu berpakaian sama seperti yang kita pakai setiap kali ke surau, sedangkan yang lain hanya memakai penutup kemaluan sejenis rok mini yang di bagian bawahnya seperti disobek-sobek.  Pakaian yang dia kenakan amat berbeda dari yang lain. Mereka memanggilnya kepala suku,” tukas Fikri diiyakan Ilham ketika Tetua kampung bertanya sebab musabab mereka berada di Bagan itu. Sesaat kemudian, kedua ibu anak-anak itu memeluk anak mereka dan selesai…

Januari  2014


Oleh: Aydhil)*


Di rumah sakit Karang Manjangan…

Meski matahari sudah terik, tak sedikit pun cahayanya yang menyusup ke dalam ruangan serba putih ini, ruangan ini tertutup. Tak ada satu jendela yang terpasang. Hanya ada satu pintu di sebelah pojok ruangan, sedangakan di atasnya ada satu benda yang berbentuk persegi panjang berwarna hitam. Di setiap inci-incinya ada celah-celah yang bisa mengeluarkan angin yang teramat sangat dingin. Entah apa namanya, karena baru kali ini aku melihatnya. Bau obat-obatan sungguh menyengat, berebutan memasuki lubang hidung ku.

Aku melangkah secara perlahan mendekati ranjang yang juga berwarna putih. Di atasnya ada sesosok yang berbaring lemah. Hidung dan mulutnya tertutup benda berwarna bening. Karena baru sekarang aku melihatnya, aku tak tahu apa nama benda itu.

Tubuhku masih terlalu kecil untuk mencium kening sosok yang berbaring di atas ranjang itu. Jangankan mencium keningnya, untuk menyentuh telapak tangannya saja aku harus berjinjit.

Saat ini aku benar-benar bingung mencari cara agar benda yang sedari tadi kubawa bisa kuletakkan di sebelahnya. Tiba-tiba, mataku menangkap sesuatu berwarna putih yang hanya berjarak lima langkah dari tempatku berpijak. Aku menghampirinya, kursi putih yang sederhana…

@@@

 23 hari yang lalu…

Aku pandangi ombak yang berkejaran di lautan sembari duduk di atas pasir. Aku menangis, namun suara tangisku tak terdengar. Riak ombak dan angin yang begitu kencang mengalahkan suara tangisku. Kedua mataku membengkak dan kedua bahuku bergerak naik turun mengikuti isak tangisku sendiri, sedangkan lengan kananku mengusap mataku yang terus saja mengeluarkan air mata. Aku merasa sedih. Kurasa angin sudah tak lagi bersahabat denganku.

Dan saat itulah…
Saat sebelum air mataku menyentuh pasir pantai, sosok itu datang lagi. Sesosok yang selalu akan menngahapus air mataku ketika aku sedang menangis. Sosok yang telah mengajariku betapa sederhananya kehidupan ini. Sosok yang selalu menenangkanku dengan kalimat-kalimat yang teramat sangat menyentuh. Sosok yang tak pernah asing di mataku. Dialah, Bunda tercintaku.

Saat ini Bunda datang dengan sebuah benda. Kedua matanya menyisakan warna merah. Ya… dia baru saja menangis. Sama seperti apa yang aku lakukan sebelumnya. Meskipun kedua matanya berwarna merah, Bunda masih bisa tersenyum.

“Ingatlah pesan Bunda, Nak! Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan yang namanya kematian,” ucapnya dengan tatapan yang sampai kapanpun tak akan bisa kulupakan.

Tiba-tiba saja, angin berhembus dengan begitu pelannya. Aku tak lagi mengeluarkan air mata seakan-akan rasa sedih itu bercumbu dengan angin yang berhembus entah kemana.

Dia memberikan benda yang sedari tadi digenggam padaku. Aku bisa merasakannya. Tanganya benar-benar gemetar saat menjulurkan benda yang berwarna bening itu ke tanganku. Aku bingung. Aku tidak tahu harus bagaimana? Aku hanya bisa diam dan menerima benda itu dengan perasaan yang tak bisa kujelaskan.

“Simpanlah benda ini baik-baik! Jangan pernah kau membukanya kecuali saat waktunya tiba. Sebab di dalamnya ada sepotong nyawa yang tak bisa ditukar dengan apapun.”

Sunguh aku tak mengerti apa yang diucapkan Bunda. Aku masih terlalu kecil untuk memahami kalimat itu. “Ah… Sepotong nyawa. Bukankah dalam benda itu tak ada apa-apa? Kosong… Entahlah…?”

@@@

Aku berhasil!

Berhasil memindahkan kursi putih itu ke sisi ranjang. Aku menyeringai begitu girangnya. Tanpa menunggu waktu yang lama, aku menaiki kursi putih itu. Dengan leluasa, aku bisa puas menatapnya yang sudah lama tak sadarkan diri.

Beberapa detik kemudian, aku mencium keningnya dan meletakkan benda yang kubawa di sebelah kanannya. Aku membuka tutup benda itu. Ini adalah kali pertama membuka benda ini sejak aku menerimanya di pantai utara sana.

Untuk yang kesekian kalinya, aku mengambil nafas dalam-dalam dan lagi-lagi bau obat-obatan saling berebutan memasuki lubang hidungku. Bahkan, aku mencium bau aneh yang memancar dari dalam benda itu.

@@@

Aku benar-benar sedih…

Hari ini adalah hari ke-24 sejak pertemuanku sekaligus pertemuan terakhirku di pantai utara sana. Ya…. Dia tak pernah kembali ke rumahku semenjak dia memberikan benda yang katanya, di dalam benda itu ada sepotong nyawa. “Ah, mengapa dia tak kunjung kembali juga? Bukankah rumahku adalah rumahnya pula…”

Aku merindukannya. Sangat merindukannya. Tapi, aku hanya bisa duduk berdiam diri di dalam kamar sembari memandangi benda pemberiannya. Aku masih tidak mengerti. Di dalam benda ini, kosong tak ada apa-apanya. Hingga saat ini, aku masih belum berani membuka tutupnya. Karena aku masih ingat dengan pesan singkatnya, “Jangan pernah kau membukanya kecuali saatnya tiba…”

Ada satu hal yang sering mengusik pikiranku. Meski selama ini dia tak dapat menampakkan batang hidungnya hadapanku, dia selalu mengirimi kotak makanan padaku di pagi buta. Meletakkannya di luar pintu rumah. tanpa harus bertemu denganku. Meski aku sedikit ragu kotak makanan itu benar-benar darinya, ada suatu hal yang membuatku yakin kotak makanan itu darinya. Ada sebuah pesan singkat yang bertuliskan pesan singkatnya.

Aku ingat di hari ke-17 atau lebih tepatnya enam hari yang lalu. Saat itu, secarik kertas di bawah makam itu bertuliskan, “Ingat pesan Bunda, Nak. Jangan pernah kau mencari Bunda! Kecuali suatu saat nanti saat waktunya tiba… ”

“Tapi, mengapa, bun? Aku benar-benar rindu Bunda. Tak bisahkah Bunda mencium keningku di setiap pagi, di setiap Bunda mengantarkan makanan itu ke rumah? Mengapa Bunda tak mau bertemu denganku? Apakah Bunda membenciku karna aku selalu menangis sejak Ayah tiada?” Batinku meronta setelah aku membaca pesan singkat dari Bunda itu.

Hari-hariku berbeda. Jika hari kemaren secarik kertas darinya bertuliskan. “Aku rindu kau, Nak…” hari ini secarik kertas darinya bukanlah bertuliskan pesan singkat, ataupun kata rindu lagi, melainkan sebuah tulisan yang menjelaskan nama sebuah tempat.

Nak, datanglah! Bunda rasa waktunya telah tiba. Bunda akan menunggumu di sini!
Rumah sakit Karang Manjangan…

Begitulah yang tertulis di atas kertas putih darinya.

 Sungguh demi angin yang terus saja berhembus dan demi waktu yang terus saja merangkak, air mataku menetes. Aku menangis sendiri di rumah yang telah menyimpan beribu kenangan.

Tiga detik kemudian, aku menyekai air mataku… Letak rumah sakit Karang Manjangan tak begitu jauh dari rumahku. Aku memutuskan pergi ke sana dengan berjalan kaki. Aku memang belum pernah masuk ke dalam rumah sakit itu. Tapi, untuk saat ini aku akan masuk ke dalamnya. Mungkin, jika nanti aku masuk ke dalamnya aku akan menemukan sesuatu yang tak pernah aku temukan sebelumnya…

Aku melangkah menuju Rumah Sakit Karang Manjangan yang tentunya dengan membawa benda yang Bunda berikan dua puluh tiga hari yang lalu…

Sedangkan disana, dia menungguku datang. Dua menit setelah aku membuka tutup benda itu, tangannya yang sudah tampak keriput bergerak memindahkan benda aneh yang sedari tadi menutupi hidung dan mulutnya ke atas dadanya sendiri. Kedua matanya terbuka secara perlahan.

“Bunda…” ucapku dengan senyum bahagia. Bunda membalas senyumku dengan senyuman yang merekah seperti dulu.

“Adil… Kaukah yang telah membuka toples ini?” Bunda bertanya padaku sembari menoleh ke arah benda yang kuletakkan di sebelah kanannya. “Toples?” batinku dalam hati. Dengan segera aku mengangguk.

“Kau memang anak yang baik,” ucapnya dengan lirih. Aku hanya tersenyum mendengar pujian dari Bunda.

“Masih ingatkah kau dengan pesan Bunda di pantai itu, Nak?” Sekali lagi aku menjawab pertanyaan Bunda dengan anggukan kepala. Meskipun aku masih berumur sembilan tahun, aku tak pernah sedikitpun melupakan pesan Bunda.

“Suatu saat kau akan menjadi anak yang pintar,” Lagi-lagi aku hanya tersenyum mendengar pujian kedua darinya sejak kedatanganku ke ruangan yang serba putih itu.

“Berjanjilah…!” ucap Bunda kemudian. Senyumnya menghilang. Kali ini Bunda berkata sambil meneteskan air mata. Saat aku melihat Bunda menangis, kedua mataku tampak berembun.

“Berjanjilah, Nak….!” Suaranya terdengar parau. Aku menatap kedua matanya, menunggu kalimat selanjutnya. Diam.

“Berjanjilah kau tak akan menangis jika barang yang kau cintai pergi dari kehidupanmu…” Belum sempat aku menjawabnya, seorang lelaki mengenakkan baju berwarna putih tiba-tiba saja muncul dari balik pintu. Aku menoleh ke arah pintu itu. Tanpa kusadari, lengan kiriku menyenggol benda itu. Benda itu terjatuh ke lantai yang juga berwarna putih,

“Toplesku…!” teriakku. Aku turun dari kursi, memungut toplesku lalu meletakkannya pada pangkuanku. Saat aku menaiki kursi lagi, aku sempat melihat lelaki berbaju putih tadi menggelengkan kepala. Sempurna sudah… Ketika tubuh mungilku berada di atas kursi, aku tak lagi melihat wajahnya sebab seluruh tubuh Bunda ditutupi kain putih. “Apa yang terjadi?” Aku bertanya pada diriku sendiri. Beberapa detik kemudian, lelaki berbaju putih tadi menghampiriku dan berucap pelan.

“Bersabarlah! Dia telah pergi…” Aku duduk dan mendongakkan kepala. Tapi, ah… Aku sungguh tak bisa. Air mataku jatuh begitu saja dari kelopak mata. Mengalir secara perlahan hingga menyentuh toples pemberian dari Bunda.

“Maaf, Bunda. Mungkin ini adalah yang terkhir kalinya aku menangis untuk orang yang aku cintai…”

Mulai saat itu, aku menyadari tentang satu hal. Tak selamanya orang yang aku cintai akan selalu ada di sisiku. Suatu saat nanti, aku pasti merasakan perpisahan lagi. Tapi, entahlah… Berpisah dengan siapa. Karena itu akan terjadi suatu saat nanti. Ya…. Suatu saat nanti…

Semoga kau tenang disana, Bun. Amien…(*)


)* Aktivis 3 Serangkai Flp Lake’an.

*Oleh: M. Siryi Z@mil.


Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarahpun, niscaya dia akan melihat (Balasan)nya pula.
(Q.S. Al-zalzalah :8)

***
  Ah... ternyata memanfaatkan keringat orang lain sama saja memasuki gudang penyesalan.

“Heh! Copeet...! Copeeet...!!” jeritnya histeris setelah kulucuti tas yang diapit wanita paruh baya itu. Suasana jadi gaduh. Beberapa  orang pria berhamburan mengejarku. Aku berlari sekencang-kencangnya melewati lorong-lorong pasar itu. Tak peduli apapun, yang terpenting nyawa harus kupertahankan.

Waduh! Mereka yang mengejarku tampak semakin banyak. Aku kebingungan mencari jalan keluar dari pelataran masal ini.

“Ouy! Awas lo, ya...!” teriak  salah seorang dari mereka dengan suara seraknya. Namun, tidak aku hiraukan. Aku terobos gang-gang kecil hingga akhirnya mereka kehilangan jejakku hanya dengan satu batang tang aspal yang menutupi tubuhku dari pandangan mereka. Tapi, aku merasa mereka masih memburuku, karena aku lebih dari sering melakukan hal yang sama di pasar itu.

***
Teeeeeet...! Dering bel  di sekolah berbunyi. Siswa-siswi berhamburan keluar kelas selaksa laron yang berebutan keluar dari lubangnya di musim penghujan. Di tempat parkir roda dua, halaman sekolah, aku mengobrol dengan teman-teman sambil menikmati jam istirahat. Hal itu sudah menjadi kebiasaan para siswa sambil saling bertukar guyonan satu sama lain. Asyik, deh!

“Ri, kamu bisa ikut aku nanti?” ajak salah seorang temanku. Entahlah mau kemana sehingga dia membuatku harus balik bertanya.

“Kemana, Lan?” balasku di sela-sela obrolan itu.

“Ke pasar,”  ucapnya singkat.

“Emang kamu punya keperluan apa mau ke pasar ?” tanyaku lagi.

“Aduh, Ri... Kamu, kan, udah tahu sendiri setiap hari sebelum pelajaran aku dihukum berdiri depan kelas karena gak pakai sepatu!” jelasnya, membuatku ber-O panjang sambil menganggukkan kepala.

“Ya. Tapi, nanti setelah bel pulang, kan? Kamu, kan, punya motor sendiri sekalian anterin aku pulang…” jelas aku agak bijak.

“O... ya. It’s good idea! Ayo, masuk aja dulu!” ucapnya sambil lalu  menarik tanganku menuju kelas.

***
“Aku harus cari jalan keluar dari tempat ini,” aku terus membatin sembari mengitari mereka yang masih mengejarku dari arah sana.

“Aku harus menyamar untuk bisa berjalan ke arah pangkalan taksi. Emm... kan, udah banyak uang! Aku mau beli kacamata dan topi. Sip! Ide bagus!” putusku lalu beranjak untuk beraksi.

***
“Ke pasar Rhengkujheng itu kan, Lan?” tanyaku pada Alan yang sedang menyetir motornya. Aku membonceng saja di belakangnya.

“Ya!” jawabnya singkat.

“Udah jam sebelas kayak gini, pasar belum bubar?” tanyaku lagi.

“Ya gak lah… Kan, pasar terkenal di pulau Madura!” jelasnya sambil menambah laju motornya. Aku memegang lebih erat pada Alan. Beberapa jenak kemudian, kami sudah tiba di pasar Rhengkujheng.

“Ri, biasanya kalau toko sepatu dimana ya…?” tanya Alan setelah memarkirkan motornya.

“Lho? Kok, nanya sama aku? Bukannya kamu lebih tahu dimana letak semua toko yang ada di pasar ini?” bantahku dengan ekspresi sedikit cemberut.

“ Aku baru tiga kali ke pasar ini, Ri,” jelas Alan dengan jujurnya.

“Ya udah. Ayo, kita cari sambil numpang tanya sama orang-orang di sini!” putusku. Beberapa langkah kemudian kami bertanya pada seorang wanita untuk bertanya.

“Permisi, Mbak. Kami mau numpang tanya. Kira-kira toko sepatu di sebelah mana, ya, Mbak?” tanya Alan santun. Namun tanpa dijawab, ia berteriak keras.

“Copeet... copeeet... ini copetnya!” suaranya lantang sekali. Kami tidak mengerti dengan apa yang sedang terjadi. Wanita itu menuding-nuding kami. Lalu segerombolan orang dengan pentungan di tangannya, datang mereka langsung mengeroyokku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Teriakanku sama sekali tidak mereka hiraukan.

“Aku bukan copet! Aku bukan copet!!” teriakku keras berulang kali.

“Kurang ajar! Kamu mau nyamar, ya? Kamu mau nyopet lagi?” tukas salah seorang dari mereka dengan begitu berang sambil melayangkan pukulannya sekeras mungkin.

“Maaf, Pak! Ini teman saya. Dia gak punya salah apa-apa, Pak!” Alan hanya meratap dan memohon untuk tidak menyakitiku. Namun, mereka seakan tidak mendengar apa-apa.

“Mungkin ini juga pelakunya!” tuduh seorang lelaki dengan amarah yang meletup-letup.

“Gak, Pak! Gak, Pak!” Alan bersimpuh dan menangis histeris. Air matanya terbuang sia-sia. Kasihan sekali… Tubuhku memar. Aku sudah tidak berdaya lagi untuk bangkit. Tubuhku melemas hingga akhirnya aku tak sadarkan diri. Namun begitu, mereka masih saja menghapus rasa dendamnya, menyiksaku tanpa perhitungan sama sekali. Kejam!

***
Aku  mulai tenang. Semua orang jadi rabun dengan kenyataan tentang aku. Mereka tidak menyadari bahwa aku selalu berpijak di matanya. Aku sudah bebas hanya dengan topi dan kacamata yang aku kenakan ini. Bahkan, tidak seorang pun yang berprasangka bahwa aku masih berkeliaran di sekitar mereka. Tapi, ada sedikit kejanggalan dalam benakku, kala telinga ini menangkap berita baru yang bertebaran di mana-mana bahwa pasar Rhengkujheng sekarang sudah aman dari gangguan copet. Mereka sudah menghabisi pelaku copet itu. Begitulah pernyataannya. Aku selidiki siapa yang telah mereka habisi itu.

Aku menghampiri kerumunan orang-orang. Setelah jelas di mataku, serasa denyut jantung berhenti begitu saja. Aku menjerit sambil menyebut nama si korban itu. Di temani tangis yang menjadi-jadi aku merangkulnya. Dia adalah saudara kembarku. Seseorang yang sangat aku sayang.

“Ini Fahriii...! Fahrii…! Bukan aku yang kalian kejar-kejar setiap waktu!!” Begitu lantang suaraku di tengah-tengah mereka yang hanya termangu karena salah sasaran. (*)


*)Banyuanyar, 09 september 2013...
.

Berdasarkan konsep manusia yang kita kenal dengan fitrah, santri merupakan elemen penting dalam konteks pesantren. Pendidikan pesantren dalam memandang santri masuk pada katagori semua ideologi, karena santri tetap dipandang mempunyai daya kelebihan dan kekurangan yang perlu diperbaiki dalam pendidikan, khususnya pendidikan pesantren kalau pun ada perbedaan kecendrungan pandangan antara ideologi. Hal ini lebih disebabkan oleh cara pandang yang berbeda.

Santri dilihat dari kesamaan dan perbedaannya antar individu dapat dikatagorikan dalam katagori konservatif. Hal ini dikarenakan dalam pendidikan pesantren memiliki prinsip kolektif, bukan individual. Sementara fungsi santri dalam prinsip individu masuk dalam katagori liberal, karena dalam pesantren santri bebas menentukan nasibnya dan menegmbangkan kemandiriaanya.

Jumlah santri dalam sebuah pesantren bisa dijadikan tolak ukur atas maju-mundurnya suatu pesantren itu sendiri. Semakin banyak kuantitas dalam sebuah pesantren, maka semakin di nilai lebih maju, begitupun sebaliknya. Akan tetapi tingkat pencapaian prestasi siswa dalam sistem tradisional dapat diukur dengan totolitas siswa yang berprilaku baik dan bermoral tinggi baik bagi santri yang memang bermukim dalam pesantren itu sendiri maupum yang kalong begitupun dengan santri alumni.

Santri mukim adalah santri yang aktif secara total dalam kegiatan-kegiatan pesantren, santri kalong adalah santri yang tidak secara total aktif dalam kegiatan pesantren, karena dia pemukiman aslinya bersama keluarganya (siswa nyolok), beda halnya dengan santri alumnus (bekas santri aktif), yang hanya datang dan aktif dalam acara insidental. Mereka tidak terdaftar secara resmi sebagaimana santri mukim dan santri kalong. Mereka memiliki hubungan yang sangat kuat dan dekat dengan pesantren tersebut dan memberikan sumbangan dan partisipasi yang tinggi  apabila pesantren membutuhkannya.

Santri  ibarat unsur organik dalam sebuah pesantren. Sehingga santri harus diasah semaksimal mungkin oleh pesantren yang sesuai kurikulum pesantren itu sendiri. Kurikulum adalah penunjang yang sangat urgen dalam mengarahkan peserta didik pada perubahan yang baik. David pratt mengataka, “an organized set or formal education anel / training intention” perkataan itu dapat kita pahami bahwa kurikulum pada dasarnya merupakan seperangkat perencanaan untuk mengantarkan lembaga pendidikan dalam mewujudkan tujuan yang diidamankan. Kurikulum meliputi; tujuan, materi, metode dan evaluasi.

Sebagai lembaga pendidikan, pesantren dengan kurikulum tersebut dapat membentuk kepribadian santrinya, memantapkan akhlak dan melengkapinya dengan ilmu pengetahuan. Materi pesantren bersifat pada keagamaan yang bersumber pada kitab-kitab klasik yang meliput sejumlah bidang antara lain; ilmu tauhid, tafsir, hadist, fiqih, ushul fiqih, tasawwuf dan lain semacamnya.

Jadi santri dan pesantren, tidak hanya menjadi kesesuaian nama semata, melainkan hubungan timbal-balik yang memiliki dasar pendidikan yang baik, seperti halnya pengetahuan dan karakter. (*)

Oleh :
__________________
*EFENDI*, adalah santri aktif pondok pesantren Banyuanyar yang berasal dari desa Bujur Timur. Dilahirkan pada, 05 Desember 1996 . Pria yang ingin jadi orang sukses dunia-akhirat itu masih baru menyelesaikan pelajarannya di bangku MA, jurusan IPA U.**

Perlu kita ketahui bahwa pendidikan sebagai salah satu komponen pembangun bangsa yang memiliki fungsi strategis untuk membentuk manusia yang bermoral dan berakhlak baik. Sehingga hal demikian, dapat mengantarkan pesrta didik menuju keseimbangan pribadi antara kecerdasan intelektual dan dengan kecerdasan emosional yang sejalan dengan tuintunan Islam.

Oleh karena itu, dibutuhkan lembaga pendidikan Islam yang dapat memenuhi  dua kebutuhan tersebut. Pesantren adalah salah satu lembaga yang menitik-beratkan pada tradisi keislaman yang sangat kental di tengah kehidupan sosial sebagai sumber utama pada akhlak.

Pesantren mengajarkan sangat detail masalah akhlak, disamping mengajarkan bagaimana etika dalan beribadah, mencari ilmu, dan beretika sosial. Lebih dari itu, pesantren juga mampu dengan sebuah pemahaman lingkungan melalui kebiasaan yang akhirnya menjadi sebuah tradisi, yakni tradisi yang unik yaitu sebuah komunitas yang jarang ditemukan dalam lembaga–lembaga luar pesantren.

Sebagai lembaga yang berbasis Islam, pesantren memiliki tradisi mengkaji dan mempelajari kitab kuning sebagai  salah satu sumber pengetahuan. Dengan tradisi inilah santri atau peserta didik pesantren dapat berbekal dengan baik dalam menghadapi tantangan carut-marut dunia dan dapat membentuk para generasi Islam yang handal untuk menjalakan risalah yang dibawa oleh Nabi kita.

Namun seiring dengan perkembangan zaman pendidikan yang mulai mengglobal saat ini, tradisi-tradisi yang bersumber dari para pejuang Islam terdahulu itu, mulai terminimalisir. Sudah banyak kita temukan hal-hal yang di pacu oleh munculnya buku-buku modern yang mulai tidak mengarah pada pendidikan masa dulu dan tidak berbasis sebagai pembangun iman. Namun malah memporak polandakan.

Santri beranggapan bahwa belajar kitab kuning kurang begitu cocok untuk menghadapi zaman sekarang. Zaman yang serba modern ini sudah bukan zamannya dihadapkan pada kitab kuning dan mempelajarinya. Begitu mereka mengatakan.

Tapi kenyataannya, kemodernan zaman sekarang justru disebabkan banyak orang–orang barat yang mengkaji dan mempelajari kitab kuning. Mereka tau bahwa ulama Islam terdahulu adalah barometer pendidikan. Sehingga orang-orang barat mengadopsi pemikiran-pemikiran Islam.

Perlu kita tau bahwa sejatinya kitab kuning yang mulai sudah kita tinggal sekarang tidak hanya berisi tentang agama saja, banyak didalamnya terdapat ilmu-ilmu umum, seperti kedokteran, astronomi, ilmu hisab, sastra dan lain semacamnya.

Jadi sangat disayangkan jika seorang santri sudah mulai acuh tak acuh lagi terhadap kitab kuning, yang justru di dalamnya mengandung secara komplet pemikiran-pemikiran dahsyat yang tidak ada dalam buku-buku modern saat ini.(*)

Oleh :
__________________
*NURUL LUTFI* , adalah pria kelahiran pamekasan, 01 januari 1998, yang menyandang nama pena luthfy el-nafiel. Anak yang mempunyai impian  menjadi seorang penulis sekaligus satrawan itu bertempat tinggal di desa yang terpencil dan bersahaja, sana daya.*

SEPAK BOLA, adalah salah satu bidang olah raga paling digemari oleh banyak kalangan; laki-laki maupun perempuab, tua, muda dan terlebih lagi adalah santri. Cinta terhadap bola tidak menjadi persoalan ketat bagi kita. Akan tetapi keseimbangan antara kegilaan terhadap sepak bola dan aktivitas santri perlu di jaga. Dalam arti luas, santri tidak boleh berlebihan, karena berlebihan itu merupakan sifat yang tidak dianjurkan dalam agama, apalagi hal buruk yang memang jadi larangan tersendiri dalam Islam.

Bagaimana dampak sepak bola bagi umat Islam? Mungkin perlu kiranya saya mengajak pembaca untuk berpikir tentang hal kecil yang tanpa disadari merusak aktivitas kita sebagai umat Islam. Banyak hal tidak baik dan menimbulkan dosa yang sumbernya lahir dari dunia sepak bola. Asal muasal adanya sepak bola datang dari orang barat, dimana sebagian besar mereka adalah orang-orang yang tidak searah dengan kita, kemudian sepak bola menyebar ke seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia.

Dalam sebuah ayat Al-Qur’an dijelaskan yang artinya berikut;
“Kaum yahudi dan nasrani tidak akan senag kepadamu hingga kamu mengikuti millah mereka” (Q.S. Al-Baqarah :120)

Setelah  kita mengetahui ayat diatas,  mari buka dengan lebar indra kita. Sepak bola adalah olah raga dengan penggemar terbanyak di dunia dari pada bidang olah raga lain. Apalagi club yang kita sanjung–sanjung adalah sepak bola Eropa, yang mayoritas para pemain dan penggemarnya adalah non-muslim. tidak usah jauh-jauh kita melihat fakta, seperti jadwal pertandingan sepak bola, dimana ia banyak dibenturkan dengan waktu-waktu tertentu, seperti halnya kegiatan shalat. Sering ketika kita nonton pertandingan sepak bola, terlebih di live telivisi, secara tidak langsung, sepak bola menyeret kita lalai terhadap kewajiban kita sebagai umat Islam. Contohnya, banyak diantaranya sering kita merelakan waktu tidur kita hanya demi menonton pertandingan sepak bola. Semalaman mereka labrak. Sehingga imbasnya ke waktu shalat subuh, harus kita libas dengan seenaknya. Bukan lagi dengan dampak terhadap kesehatan tubuh kita, dimana sangat jelas menggangu keseimbangan tubuh.

Kemudian memasuki sisi santri terhadap sepak bola. Lebih dari mayoritas santri yang menyukai sepak bola, bahkan tidak hanya sekedar suka, tapi gila (berlebihan) terhadanya (GIBOL). Lantas bagaimana fenomena tersebut? Saya rasa jika sebatas menyukai, boleh-boleh saja. No a way! dan tidak ada larangan untuk berolah raga. Kalau sebatas berolah raga dengan bermain sepak bola dalam Islam memang telah dianjurkan seperti dalam sebuah hadist :

“orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai allah daripada orang mukmin  yang lemah” (H.R. Muslim.)

Kaitannya, bahwasanya berolah raga termasuk sepak bola tidak ada larangan apapun. Dengan berolah raga jasmani kita akan sehat dan kuat sehingga bisa melaksanakan banyak kegiatan baik. Namun begitu juga ada batasannya. Kita tidak boleh mencampur baurkan dengan hal-hal yang sekiranya merusak aktivitas wajib kita.

Utamanya bagi penyandang profesi santri. Sudah bukan perkara tabu lagi yang namanya santri gila terhadap bola, banyak ditemukan santri yang melanggar undang-undang pesantren, seperti halnya keluar batas, tidak lain hanya untuk menonton pertandingan sepak bola. Bukan lagi yang bertaruhan ketika tim kesayangannya bertanding. Itu merupakan hal yang sangat ironis bagi setatus santri. Karena taruhan tidak ubahnya perjudian yang menjadi larangan ketat dalam Islam.

Hal demikian harus diperhatikan lebih serius lagi bagi kaum santri. Bisa dikatakan sepak bola sama saja dengan narkoba yang membuat penggunanya kecanduan. Terangsang untuk selalu tau kabar-kabar hangat tentang sepak bola yang kemungkinan besar membuat mereka lupa akan tugas belajar mereka.

Terlepas dari itu, sering pula ditemukan percekcokan santri satu dan lainnya, akibat dampak pertandingan sepak bola yang mereka pikir fanatik. Fanatisme santri terhadap sepakbola membuatnya berpikir egois. Nah, ketika mereka mengutamakan egonya. Rasa tidak mau kalahlah yang mereka pegang yang puncaknya adalah permusuhan. Bukankah permusuhan juga termasuk larangan dalam Islam?

Konklusi

Dari ulasan diatas, seorang santri harus memperhatikan lebih serius status dirinya yang mulia. Kegilaan terhadap bola merupakan hal yang kurang wajar bagi status santri, bukan berarti tidak boleh suka dan cinta terhadap sepak bola, akan tetapi jagalah keseimbangan antara status santri dan aktivitasnya. Tidak boleh berlebihan, karena bagaimanapun sifat berlebihan adalah hal tidak baik dalam Islam.(*)

Oleh :
_________________
*ALFA AT-TAKMIL* adalah nama pena dari Moh. Ali Wafa . Seorang penulis pemula yang lahir di pamekasan, 20 april 1998 , tepatnya di desa plak pak pagantenan itu, saat ini masih duduk di bhangku kelas XI IPA U MA Darul Ulum Bnyuanyar.ia suka menulis sejak duduk di bangku kelas IX MTs Darul Ulum Banyunayar, bergabung Forum Lingkar Pena (FLP) Ranting Banyuanyar. Juga di TOPLIS. Masalah menulis, ia sudah banyak menulis seperti artikel, puisi, diary begitupun cerpen, yang paling ia sagat tekuni. Hidup harus memberi memfaat bagi orang lain. Sarana sederhana yang ialakukan dalam berbagi adalah hanya menulis.*