BINTANG DAVID TERBALIK

by September 28, 2018 0 komentar

*Oleh: Ubai Setiawan


Perlahan namun pasti setangkai mentari beranjak dari peraduannya. Meninggalkan sketsa keemasan di ufuk timur. Buliran embun membasahi dedaunan serta desiran angin membelai pohon cemara yang berderet-deret laksana pasukan perang nazi kuno. Kicauan burung-burung yang beterbangan dari ranting satu ke ranting yang lainya, seakan menambah  pagi ini begitu indah. Aku duduk manis di serambi rumah sambil menikmati kopi pagi. Kupandangi gunung yang berdiri gagah di depan sana. Mataku tak jemu berkedip memerah sebab aku lembur semalaman menangani pembunuhan yang akhir-akhir ini menguras tenagaku. Sebagai seorang komandan di kepolisian, aku harus mengabdikan seluruh tenagaku.

Tiba-tiba, lagu “One Direction” mengalun dari hpku. Kupandangi hp yang tergletak di meja “Barry calling”. Kuangkat…

“Ya. Halo! Ada apa, Bar?”

“Ada pembunuhan lagi, Pak!“ Terdengar suara dari seberang.

“Dimana?”
“Di sebuah rumah, tepat di pinggir jalan Stallin.”

“Ya. Tunggu aku di sana. Segera amankan lokasi sekitar kejadian itu. Sepuluh menit lagi aku sampai!”

“Siap, Pak!” Kumatikan hpku lalu kembali ke kamar memakai baju lengkap. Sejenak kupandangi wajah istriku yang masih tertidur pulas, mengecup keningnya sebentar. Lalu keluar beranjak ke garasi. Detik berlalu, aku sudah keluar dari rumah dengan kecepatan tinggi menuju TKP. Beberapa menit kemudian, aku sudah sampai di tempat kejadian. Terlihat masyarakat sekitar mengerubungi TKP. Aku turun dari mobil, terlihat Barry mendekatiku.

“Bagaimana?” tanyaku pada Barry.
“Sekitar TKP sudah diamankan, Pak.”
“Oke!” Aku langsung menuju tempat kejadian, diikuti oleh Barry dan seorang polisi lagi. Setelah sampai di sana, kulihat korban tergeletak dengan tangan terikat. Mulutnya mengeluarkan darah yang terus mengalir. Bajunya compang-camping, bertanda sebelum dibunuh, ia disiksa terlebih dahulu.

“Ada barang bukti yang ditinggalkan pembunuhnya?” Tanyaku pada Barry.

 “Tidak ada, Pak. Hanya saja, pada korban yang sebelumnya, pembunuh meninggalkan sayatan bintang terbalik di punggung korban,” jawab Barry panjang lebar.

Aku melangkah mendekati korban. Benar saja, di punggung korban ada semacam simbol bintang terbalik yang disayat menggunakan alat yang tajam semacam silet.

“Saksi mata mengatakan bahwa sebelum korban dibunuh, korban dibacakan mantra seperti sedang dihipnotis, Pak!” ucap Barry lagi.

“Oke… Kumpulkan semua data-data penting, lalu kirimkan ke markas.”
“Siap, Pak!”

***

Di sebuah tempat yang mirip loge, terletak di antara apitan rumah-rumah besar, puluhan orang memakai jubah berwarna hitam pekat dengan penutup yang mirip caping sedang mengelilingi sebuah tongkat panjang berukuran setengah meter. Di atas tongkat itu ada bintang David yang terbuat dari emas dan di bawahnya dikelilingi piramida-piramida kecil dengan simbol Lucifer di atasnya. Sambil membaca mantra dan memuji Yahwah, tuhan mereka, ketua yang terdepan mengambil cawan berisi darah segar lalu mengguyurkan darah tersebut pada tongkat itu. Setelah selesai, dia mengisi cawan itu lagi dengan darah kemudian diminum secara bergantian.

***

“Gimana, Pa? Udah ketemu pembunuhnya?” tanya istriku, pada saat kami sedang sarapan pagi bersama.

“Belom, Ma. Masih diselidiki lebih dalam lagi,” jawabku sambil mengelap mulut lalu meminum segelas susu yang ada di atas meja. Lantunan nyanyian Jenifer Lopez mengalun indah dari hpku yang teronggok di atas meja. Kuangkat panggilan dari hpku.

“Bagaimana, Bar?” tanyaku santai.
“Saya mau melaporkan, Pak. Ternyata simbol bintang terbalik itu adalah milik kelompok penyembah setan, Pak!“ jawab Barry dari seberang. “Dan sekarang kami menemukan markasnya, Pak. Markas itu terletak di kawasan rumah-rumah elit,” lanjutnya.

“Tempatkan orang-orangmu di sana. Nanti malam kita kepung markas mereka!“

“Siap, Pak!” lalu hubungan terputus.  Aku langsung menyambar kunci mobilku, lalu beranjak keluar menuju garasi. Beberapa menit kemudian, mobilku sudah menelanjangi punggung jalan menuju markas kepolisian Alasanta.

***

Tepat jam 11:00 malam, aku langsung terjun ke tempat sasaran, memimpin pasukan elit polisi Alasanta untuk mengepung dan “mengamankan” komunitas yang sudah membuat gerah dan cemas negara Alasanta. Dengan mengendap sambil memberikan aba-aba, aku masuk melalui pintu belakang diikuti sepuluh anak buahku, sedangkan yang lain berjaga-jaga di luar, mengepung loge (sasaran). Terdengar nyanyian mantra dilantunkan dari dalam, diikuti oleh suara yang lebih banyak. Dengan langkah pelan namun pasti, aku masuk ke dalam. Terlihat di antara celah-celah jendela, segerombol orang sedang mengelilingi tongkat David sambil melantunkan mantra. Aku menoleh pada Barry yang berada tepat di belakangku, dia mengangguk. Dengan hitungan ke tiga, Barry langsung menendang pintu di depan. Brak!

“Jangan bergerak! Angkat tangan!” ucapku. Detik berlalu, mereka sudah terkepung. Telihat raut wajah mereka terkejut melihat kedatangan kami. Setelah di borgol, mereka di bawa ke luar menuju mobil tahanan. Aku  dan Barry masih belum  berlalu. Kami  melihat-lihat tempat yang berbau anyir karna darah ini. Kubawa tongkat David itu keluar bersama Barry. Di luar, aku dekati pimpinan penyembah setan itu. Wajahnya yang sudah keriput, rambutnya yang memutih dengan tangan terborgol, menatap lekat pada tongkat David lalu beralih memandangku tajam. Ada amarah yang mengembang di sana.

“Siapa nama anda?” tanyaku pada laki-laki  itu. Namun, tak ada jawaban seperti yang aku harapkan. “Siapa nama anda?” tanyaku lagi. Matanya tak berkedip menatapku.

 “Cuih!” laki-laki itu meludahiku.
“Kurang ajar!” ucapku sambil mengusap ludahnya di wajahku. Dengan kemarahan meledak-ledak, kuletakkan moncong pistolku di keningnya. DOOORR!!! Laki-laki itu terkulai lemas di hadapanku. Semua mata memandangku. Aku heran, tak terkecuali Barry yang sedang memegangi seorang tawanan yang memberontak.

“Bawa mereka ke markas dan hukum pancung semuanya!“ ucapku, lalu masuk ke dalam mobil diikuti pasukanku.

***
Pagi kembali menyapa. Tak jemu menemani dunia yang semakin menua, menanti kehancuran tubuhnya yang tinggal menunggu perintahNya. Di bawah lampu kristal di dalam rumah mewah, berdiri tepat di pinggir pantai Golleong, De Muller, pendiri kelompok penyembah Satanic sedang berbincang dengan Don Juan.

“Bagaimana keadaan para jemaat?” tanya De Muller pada Don juan, si pelapor kejadian yang menimpa cabang mereka di pusat kota Alasanta.

“Semua jemaat ditangkap rabbi, sedangkan Abraham terbunuh dengan luka tembak di dahinya,” jawab Don Juan.

“Kurang ajar! Kita harus balas perlakuan kejam ini!” hardik De Muller dengan geram sambil mengepalkan tangannya Matanya merah padam menyiratkan bahwa dia teramat sangat marah. Setelah berbincang, lima menit kemudian, mereka berdua sudah keluar dengan mobil masing-masing.

***
Malam kembali menyapa dengan wajah sunyi bertabur tanda tanya. Deburan bintang-gemintang menambah suasana nampak indah meski tanpa sapaan cahaya rembulan di rumah berlantai dua. Maria Sabetli gelisah menunggu suaminya yang belum datang dari kantor polisi, tak seperti biasanya dia sampai lambat seperti ini.

“Ke mana suamiku? Kenapa belum datang juga…” ucap Maria Sabetli dengan wajah gelisah nan muram. Belum sempat dia melanjutkan ucapannya, suara bel berdenting dari depan rumah. Dengan langkah terburu-buru, Maria beranjak ke pintu dengan senyum merekah untuk menyongsong suaminya yang akhir-akhir ini lelah nan sibuk memberantas pembunuhan yang kerap terjadi. Dengan tenang, Maria memutar kunci lalu memutar gagang pintu, belum sempat pintu terbuka lebar, sebuah letusan terdengar dari luar. Detik berlalu, Maria terkulai lemas bersimbah darah di lantai.

***
Di ruang kantor, aku mengusap peluh yang mengalir di tubuhku. Tak seperti biasanya aku bermimpi buruk seperti ini. Tiba-tiba saja pikiranku teringat pada istriku yang hanya sendirian di rumah. Aku menyesal tak memberi tahu dia bahwa aku akan lembur malam ini. Ah.... Aku mendesah. Lalu menutup buku yang dari tadi menemaniku. Dengan perlahan, kuletakkan buku itu di atas meja sambil kembali menyeruput kopi yang dari tadi tak tersentuh. Detik berlalu, aku sudah meninggalkan buku berjudul Satanic yang tergeletak sendiri di meja ruang kerjaku.(*)

FLP Banyuanyar

Developer

Cras justo odio, dapibus ac facilisis in, egestas eget quam. Curabitur blandit tempus porttitor. Vivamus sagittis lacus vel augue laoreet rutrum faucibus dolor auctor.

0 komentar:

Posting Komentar