SEPARUH WAJAHKU

by September 28, 2018 0 komentar

*Oleh: M. Siryi Z@mil.


Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarahpun, niscaya dia akan melihat (Balasan)nya pula.
(Q.S. Al-zalzalah :8)

***
  Ah... ternyata memanfaatkan keringat orang lain sama saja memasuki gudang penyesalan.

“Heh! Copeet...! Copeeet...!!” jeritnya histeris setelah kulucuti tas yang diapit wanita paruh baya itu. Suasana jadi gaduh. Beberapa  orang pria berhamburan mengejarku. Aku berlari sekencang-kencangnya melewati lorong-lorong pasar itu. Tak peduli apapun, yang terpenting nyawa harus kupertahankan.

Waduh! Mereka yang mengejarku tampak semakin banyak. Aku kebingungan mencari jalan keluar dari pelataran masal ini.

“Ouy! Awas lo, ya...!” teriak  salah seorang dari mereka dengan suara seraknya. Namun, tidak aku hiraukan. Aku terobos gang-gang kecil hingga akhirnya mereka kehilangan jejakku hanya dengan satu batang tang aspal yang menutupi tubuhku dari pandangan mereka. Tapi, aku merasa mereka masih memburuku, karena aku lebih dari sering melakukan hal yang sama di pasar itu.

***
Teeeeeet...! Dering bel  di sekolah berbunyi. Siswa-siswi berhamburan keluar kelas selaksa laron yang berebutan keluar dari lubangnya di musim penghujan. Di tempat parkir roda dua, halaman sekolah, aku mengobrol dengan teman-teman sambil menikmati jam istirahat. Hal itu sudah menjadi kebiasaan para siswa sambil saling bertukar guyonan satu sama lain. Asyik, deh!

“Ri, kamu bisa ikut aku nanti?” ajak salah seorang temanku. Entahlah mau kemana sehingga dia membuatku harus balik bertanya.

“Kemana, Lan?” balasku di sela-sela obrolan itu.

“Ke pasar,”  ucapnya singkat.

“Emang kamu punya keperluan apa mau ke pasar ?” tanyaku lagi.

“Aduh, Ri... Kamu, kan, udah tahu sendiri setiap hari sebelum pelajaran aku dihukum berdiri depan kelas karena gak pakai sepatu!” jelasnya, membuatku ber-O panjang sambil menganggukkan kepala.

“Ya. Tapi, nanti setelah bel pulang, kan? Kamu, kan, punya motor sendiri sekalian anterin aku pulang…” jelas aku agak bijak.

“O... ya. It’s good idea! Ayo, masuk aja dulu!” ucapnya sambil lalu  menarik tanganku menuju kelas.

***
“Aku harus cari jalan keluar dari tempat ini,” aku terus membatin sembari mengitari mereka yang masih mengejarku dari arah sana.

“Aku harus menyamar untuk bisa berjalan ke arah pangkalan taksi. Emm... kan, udah banyak uang! Aku mau beli kacamata dan topi. Sip! Ide bagus!” putusku lalu beranjak untuk beraksi.

***
“Ke pasar Rhengkujheng itu kan, Lan?” tanyaku pada Alan yang sedang menyetir motornya. Aku membonceng saja di belakangnya.

“Ya!” jawabnya singkat.

“Udah jam sebelas kayak gini, pasar belum bubar?” tanyaku lagi.

“Ya gak lah… Kan, pasar terkenal di pulau Madura!” jelasnya sambil menambah laju motornya. Aku memegang lebih erat pada Alan. Beberapa jenak kemudian, kami sudah tiba di pasar Rhengkujheng.

“Ri, biasanya kalau toko sepatu dimana ya…?” tanya Alan setelah memarkirkan motornya.

“Lho? Kok, nanya sama aku? Bukannya kamu lebih tahu dimana letak semua toko yang ada di pasar ini?” bantahku dengan ekspresi sedikit cemberut.

“ Aku baru tiga kali ke pasar ini, Ri,” jelas Alan dengan jujurnya.

“Ya udah. Ayo, kita cari sambil numpang tanya sama orang-orang di sini!” putusku. Beberapa langkah kemudian kami bertanya pada seorang wanita untuk bertanya.

“Permisi, Mbak. Kami mau numpang tanya. Kira-kira toko sepatu di sebelah mana, ya, Mbak?” tanya Alan santun. Namun tanpa dijawab, ia berteriak keras.

“Copeet... copeeet... ini copetnya!” suaranya lantang sekali. Kami tidak mengerti dengan apa yang sedang terjadi. Wanita itu menuding-nuding kami. Lalu segerombolan orang dengan pentungan di tangannya, datang mereka langsung mengeroyokku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Teriakanku sama sekali tidak mereka hiraukan.

“Aku bukan copet! Aku bukan copet!!” teriakku keras berulang kali.

“Kurang ajar! Kamu mau nyamar, ya? Kamu mau nyopet lagi?” tukas salah seorang dari mereka dengan begitu berang sambil melayangkan pukulannya sekeras mungkin.

“Maaf, Pak! Ini teman saya. Dia gak punya salah apa-apa, Pak!” Alan hanya meratap dan memohon untuk tidak menyakitiku. Namun, mereka seakan tidak mendengar apa-apa.

“Mungkin ini juga pelakunya!” tuduh seorang lelaki dengan amarah yang meletup-letup.

“Gak, Pak! Gak, Pak!” Alan bersimpuh dan menangis histeris. Air matanya terbuang sia-sia. Kasihan sekali… Tubuhku memar. Aku sudah tidak berdaya lagi untuk bangkit. Tubuhku melemas hingga akhirnya aku tak sadarkan diri. Namun begitu, mereka masih saja menghapus rasa dendamnya, menyiksaku tanpa perhitungan sama sekali. Kejam!

***
Aku  mulai tenang. Semua orang jadi rabun dengan kenyataan tentang aku. Mereka tidak menyadari bahwa aku selalu berpijak di matanya. Aku sudah bebas hanya dengan topi dan kacamata yang aku kenakan ini. Bahkan, tidak seorang pun yang berprasangka bahwa aku masih berkeliaran di sekitar mereka. Tapi, ada sedikit kejanggalan dalam benakku, kala telinga ini menangkap berita baru yang bertebaran di mana-mana bahwa pasar Rhengkujheng sekarang sudah aman dari gangguan copet. Mereka sudah menghabisi pelaku copet itu. Begitulah pernyataannya. Aku selidiki siapa yang telah mereka habisi itu.

Aku menghampiri kerumunan orang-orang. Setelah jelas di mataku, serasa denyut jantung berhenti begitu saja. Aku menjerit sambil menyebut nama si korban itu. Di temani tangis yang menjadi-jadi aku merangkulnya. Dia adalah saudara kembarku. Seseorang yang sangat aku sayang.

“Ini Fahriii...! Fahrii…! Bukan aku yang kalian kejar-kejar setiap waktu!!” Begitu lantang suaraku di tengah-tengah mereka yang hanya termangu karena salah sasaran. (*)


*)Banyuanyar, 09 september 2013...
.

FLP Banyuanyar

Developer

Cras justo odio, dapibus ac facilisis in, egestas eget quam. Curabitur blandit tempus porttitor. Vivamus sagittis lacus vel augue laoreet rutrum faucibus dolor auctor.

0 komentar:

Posting Komentar