JILBAB MARIA

by September 28, 2018 0 komentar

*Oleh: O. Ramadan


Hujan  deras mengguyur kota hari ini, membasahi seluruh areal bumi. Tanah becek. Trotoar basah. Lubang-lubang kecil di badan jalan menciptakan kubangan-kubangan air menyerupai anak kolam. Beberapa kendaraan lewat, ada opelet, bus kota, dan sepeda motor.

Aku duduk termangu memandangi beribu-ribu anak hujan yang berlarian menyentuh kulit bumi, tampiasnya membasahi teras terminal opelet. Sesekali badanku bergidik menahan terpaan sepoi angin yang menggerayangi tubuhku. Dingin.

Aku sengaja tidak menyuruh mang Mamat, sopir keluargaku menjemputku ke sekolah. Kali ini aku memilih pulang sendirian karena aku sedang disibukkan oleh kegiatan sekolah sepekan terakhir. Tugasku menjadi ketua panitia di acara tahunan OSIS telah menguras sebagian waktuku. Hari ini saja hampir satu jam kuhabiskan waktu untuk mempersiapkan segala persiapannya. Mengadakan rapat kepanitiaan hampir menjadi santapanku sehabis jam sekolah hingga selalu saja aku pulang sore hari.

Entah apa yang sedang dilakukan keluargaku di rumah sekarang. Mereka mencariku? Khawatir? Atau  Mama malah akan berteriak-teriak kesal menyuruh mang Mamat agar menjemputku ke sekolah? Aku tak tahu pasti. Tapi sejauh yang aku tahu selama ini, semua itu sangat jauh dari tabiat keluargaku yang semuanya disibukkan oleh urusan masing-masing. Mama yang berprofesi sebagai dokter, ia lebih sering berada di tempat praktek daripada menungguku di rumah. Pulang larut malam bahkan terkadang menginap di rumah sakit. Ayah? Ah, jangan tanyakan lagi. Menjadi seorang pebisnis, membuat ayahku seringkali keluar kota bahkan keluar negeri. Kemarin saja beliau ke Singapore, katanya ada rekan bisnisnya yang ingin membuka cabang baru di Indonesia. Kami sangat jarang berkumpul. Aku lebih sering menghabiskan waktu  di rumah seorang diri ketimbang bersama mereka.

Beberapa saat berlalu, sepi masih bersarang di tempatku. Telah menjadi kebiasaanku untuk menikmati sepi yang memang sudah hampir menjadi menu wajibku setiap hari. Aku putar lagu-lagu asyik hingga berjam-jam. Seperti yang sedang kulakukan saat ini, ditengah denting hujan yang kian memekakkan telinga, aku  sumbat kedua telingaku dengan headset, memutar lagu-lagu POP kesukaanku. Terdengar alunan indah lirik I’m Your’s-nya Jazon Marz mengiang di telingaku. Disusul oleh lantunan indah Not With Me-nya Bondan, sangat cocok untuk menemani kesendirianku saat ini.

Tepat di seberang jalan, kulihat ibu-ibu berjalan mengitari toko mainan sambil menggandeng tangan anaknya. Sesekali anak itu tersenyum riang, sumringah menarik-narik tangan ibunya. Aku menelan ludah, mengingat bagaimana dulu aku menghabiskan masa kecilku dengan berkawan sepi. Kadang aku merasa bentuk kemewahan yang aku miliki  saat ini tiada artinya. Aku iri.

***
Tak biasanya Mama berada di rumah sesore ini. Biasanya ia akan pulang dari rumah sakit tengah malam nanti. Alasannya? Ah, aku sudah hafal luar kepala. Pasien lagi menggunung lah, banyak berkas yang  harus dicek ulang, selalu saja begitu. Tapi kali ini…?
“Hai, Sayang…” Mama menyambutku hangat. Aku mengernyitkan kening, bingung. Ada apa? Mimpi apa aku semalam?

“Tumben Mama pulang awal…?” tanyaku bingung.

“Mama lagi gak banyak pasien hari ini, Sayang… Lagian bagus, kan, Mama pulang awal. Oh, iya. Tadi Mama ketemu Maria, anak baik  itu…”

Aku diam. Andai saja setiap hari ia begini, mungkin aku akan sangat bahagia. Maria…? Aku tiba-tiba teringat gadis itu lagi. Ya, gadis yang kita temui rumah sakit tempat Mama praktek. Gadis yang belakangan ini sering mengganggu fikiranku.  Jujur saja, masih ada rasa cemburu yang merengkuh batinku. Aku merasa, ia adalah bayangan yang senantiasa mengejekku, menertawakan kekonyolanku. Dia sangat cantik dengan jilbab yang tergerai menutupi kepalanya. Tapi mendengar Mama selalu membanding-bandingkannya denganku, sungguh membuatku jengah. Belum lagi mendengar segala kebaikannya yang selalu Mama sebut-sebut di depanku.

“Marina, Sayang… Nanti malam Mama ada acara reuni bareng teman-teman SMA Mama, kamu ikut, ya…?” Sudah bisa kutebak, semua pasti ada maunya. Aku diam tak bergeming. Reuni…? Persiapan acara sekolah, kan, tinggal menghitung jari lagi dan aku harus cepat-cepat menyelesaikan tugas yang masih belum selesai. Aku tidak mungkin ikut.

“Aduh, Mam…” Belum sempat aku angkat bicara, aku telah lebih dulu dibekuk dengan kata singkat khasnya. “Tidak ada tapi-tapian!”
“Akh, Mama…” rutukku.

Tempat ini terasa ramai sekali. Beberapa pria setengah baya dan para wanita memenuhi ruangan ini. Hanya ada beberapa orang yang seumuran denganku. Mungkin mereka bernasib sama denganku. Kulayangkan pandanganku ke setiap sudut ruangan. Kulihat seorang pemuda berpenampilan cool mampu menarik perhatianku untuk menyambanginya.

“Hai, Zen. Datang juga?”

Namun sayang, langkahku untuk menghampirinya tertahan saat sesosok gadis berjilbab tiba-tiba datang dan menyapanya. Dia lagi! Ya, siapa lagi kalau bukan Maria. Gadis itu tengah berbincang dengan lelaki yang kumaksud tadi. Kenapa pula selalu ada dia? Akh!

Aku memutar balik arah jalanku menuju kursi di pojok ruangan. Duduk diam sembari sesekali mengerlingkan pandangan ke arah mereka berdua. Mama? Ah, dia terlalu asyik mengobrol dengan teman masa mudanya di jantung ruangan. Sesekali derai tawa meningkahi suasana di sana. Ada rasa kesal yang masih bergelayut di dadaku. Lihatlah si Maria itu, dia seperti sengaja melakukan semua ini di depanku. Pamer keakraban dengan pemuda itu.

“Ini Marina. Anak saya, Jeng…” ucap Mama yang entah sejak kapan telah berdiri tepat di sampingku. Aku malas menanggapi celoteh Mama pada seorang temannya.

“Cantiknya, Jeng…” timpal seorang wanita yang sedari tadi berdiri di samping Mama. Aku menoleh sedikit bangga.

“Iya, dong. Siapa dulu mamanya…?”
Mereka lalu tertawa.

***
Belakangan ini Mama terlihat amat dekat dengan Maria. Tak jarang dia ke rumahku. Aku semakin tak tenang, takut kalau pelan-pelan dia akan merebut perhatian Mamaku, mengambil alih kedudukanku di rumah ini. Mendepakku jauh-jauh! Tak akan kubiarkan itu terjadi. Mama adalah Mamaku! Memangnya siapa pula gadis itu? Dia hanya seorang gadis yang tidak ada apa-apanya dibandingkan aku.

“Maria itu cantik, ya. Apalagi dengan jilbab yang selalu tergerai menutupi kepalanya,” ucap Mama  di sela-sela makan malam. Sungguh selera makanku perlahan melemah. Aku paham betul arah pembicaraan Mama, lagi-lagi pasti tentang pembeberan segala kebaikan gadis itu. Lalu membanding-bandingkannnya dengan tabiatku.

“Tadi Mama bertemu dia di tempat kerja, dia nitip salam buat kamu.”

Salam…? Aku yakin, dari sekian banyak pola hidupnya yang selama ini Mama anggap baik, semua itu tidak sedikit pun di dasari dengan hati yang ikhlas. Di depan orang saja dia baik, tapi dibelakang, siapa yang tau…

“Ma, besok pagi Mama kerja?” Kualihkan pembicaraan untuk mencairkan suasana hati yang sebenarnya aku akui sedikit memanas. Sesaat diam, menunggu jawaban Mama yang masih asyik mengunyah makanan. 

“Gak. Emangnya kenapa?” Sejenak melirik ke arahku lalu fokus menyantap makanan.

“Marina mau ngajakin Mama jalan-jalan. Sesekali ke Mall bareng, gitu…”

Mama menggeleng tegas. Selalu begitu. Jawabanya pasti itu-itu saja. di waktu-waktu lalu aku masih bisa memaklumi karena Mama memang sering disibukkan oleh pekerjaannya. Tapi, kali ini? Akh… baiklah aku mengalah. Kulanjutkan makan malamku lalu beranjak menuju kamar.

***
“Hai, Maria…”
Tersenyum menyambutku keluar dari balik pintu. Aku diam dan tak menjawab. Ada apa pula dia datang sepagi ini?

“Gak ke sekolah, Mar?” tanyanya lagi. Sok akrab. Padahal aku jarang bertemu dengannya. Sekali pun bertemu, aku tidak pernah berbicara dengannya.

“Gak,” jawabku singkat. Mengalihkan pandangan ke langit-langit teras, sengaja tidak kusuruh dia masuk terlebih dahulu. Ia masih berdiri tepat di depan pintu.

“Mama ada?”
“What?! Dia bilang apa? Mama?!” batinku. Aku menghela nafas panjang, tersentak.

“Eh, maksudku Tante ada…?”
“Mama udah berangkat ke kantor,” jawabku ketus, berbohong. Jelas-jelas Mama masih ada di kamar sedang siap-siap.

“Ah… Masa iya Tante sudah berangkat? Kemarin Tante bilang minta aku disini.” Nadanya menyelidik curiga.

Sekali lagi aku menghela nafas panjang, khawatir. Bagaimana tidak? Mama ada janji dengan gadis ini, tanpa sepengetahuanku. Kenapa semalam saat aku mengajak Mama jalan-jalan Mama bilang ada urusan penting. Inikah urusan pentingnya? Berjalan-jalan dengan seorang gadis yang sudah jelas sangat tidak kusukai.

“Hai, Maria! Udah lama nunggu, ya?” Aku kaget saat tiba-tiba Mama muncul dari balik pintu, kebohonganku terbongkar. Terlihat jelas aku menahan malu.

“Sayang, kenapa Maria gak kamu ajak masuk?” Mama menyentuh pundakku. Aku mendelik diam-diam ke arah gadis itu. Dia malah tersenyum tipis kepadaku.

“Ma, aku mandi dulu ke dalam,” aku buru-buru masuk, beranjak dari hadapan mereka berdua. Tak kuat rasanya jika harus berlama-lama melihat gadis itu. Bisa-bisa emosiku naik ke ubun-ubun.

Di kamar, aku membanting tubuhku ke atas ranjang. Tidak langsung mandi karena tentu saja aku sudah selesai mandi sejak subuh tadi. Fikiranku malah terus mereka-reka kejadian menyebalkan tadi. Jika saja aku tidak berbohong dengan dalih pura-pura hendak mandi, mungkin sekarang sudah akan terjadi perang dunia antara aku dan gadis itu.

Aku menyembulkan kepala ke ruang tamu yang memang agak berdekatan dengan kamarku, kulihat gadis itu tengah berbincang dengan Mama.

“Gimana kalo kita ajak Marina ke tempat itu Tante?”

“Hmm… Ide bagus. Tante bilang dulu ke Marina, ya.”

Lekas aku melompat ke tempat tidurku saat menyadari Mama menuju kamar. Sesegera mungkin aku menyisir rambut, pura-pura selesai mandi. Mengajakku? Memangnya mau kemana mereka? Apakah ini adalah bagian dari taktik lain gadis itu untuk mendapatkan perhatian Mama? 

“Sayang, Maria ngajakin kamu keluar bareng kita, tuh…” Mama muncul dari balik pintu. Aku  tak  sedikit pun mengalihkan pandangan dari cermin, berpura-pura merias wajah layaknya orang baru selesai mandi.  “Mau ikut nggak, Sayang? Kemaren kamu bilang ingin mengisi waktu libur…” bujuk Mama.

Aku diam, menimbang-nimbang sejenak. Kalau aku tolak tawaran Mama, aku akan sendirian di rumah. Apalagi Bi Inah sejak kemaren pulang kampung. Tapi kalau aku ikut, aku sungguh malas satu mobil dengan gadis itu. Setidaknya kalau aku ikut, aku bisa tahu apa saja yang direncanakan oleh Mama dan gadis itu.

“Ya, deh. Aku ikut. Aku ganti baju dulu, Ma.”

Pagi ini jalan tidak terlalu ramai. Jadi sepanjang perjalanan, aku bisa bersantai-ria sembari sesekali mendengarkan percakapan serius Mama dan Maria. Aku kesal melihat keakraban mereka. aku tidak bisa menjadi penengah saat pembicaraan mereka terlihat sangat serius. Seperti biasa, aku memilih menyumpal kedua telingaku dengan headset. Sesekali gadis itu menoleh ke arahku yang duduk di jok belakang. Sesungging senyum membuatku mual. Mungkin jika tidak ada Mama, aku sudah melabrak mulut mungilnya.

“Tante, Mar… Kita udah sampai…” ujar Maria tetap dengan sesungging senyum yang membuatku tak tahan melihatnya.

“Senyum yang di buat seanggun mungkin untuk mengejekku,” fikirku dalam hati.

Kami turun tepat di depan salah satu bangunan kecil yang sangat sederhana. Hanya ada satu lantai, tidak seperti di rumah. Aku beberapa kali mengernyitkan kening bingung. Kulihat Mama dan Maria malah tidak henti-hentinya tersenyum.

“Ayo, Tante, Mar, kita masuk. Di dalam anak-anak pasti udah nungguin.”

Anak-anak? Apa maksudnya dia sudah punya anak? Tidak mungkin! Aku memutuskan menyimpan berbagai macam pertanyaan yang nyaris tumpah dalam pikiranku. Aku pikir, tanpa bertanya pun, aku bisa mendapatkan jawabannya di dalam rumah sederhana ini. Aku melangkah memasuki pagar kayu. Kulirik Mama, Mama malah tersenyum misterius ke arahku.

“Kakak Maria… Kakak Maria…”
Hanya beberapa langkah kami memasuki gerbang, tiba-tiba suara teriakan anak-anak kecil mengagetkanku dari arah pintu. Segerombol anak berlarian menghampiri kami bertiga. Takzim anak-anak itu menyalami Maria, Mama dan Aku.

“Ini pasti kak Marina yang kak Maria pernah ceritain ke Bela. Wuah… kak Marina memang cantik! Persis seperti yang kak Maria bilang.” Salah satu dari anak-anak yang bergerombol itu menyalamiku. Aku terperangah mendengar penuturan gadis kecil itu. Maria bercerita tentang aku kepada anak-anak itu? Bilang bahwa aku cantik di depan anak-anak itu? Aih….

“Ini pasti tante Mira, Mama kak Marina,” ujar anak itu lagi sembari menyalami Mama.

“Oh iya. Kenalin, Mar, Tante, ini Bela. Salah satu anak panti ini,” Maria tersenyum lembut. Panti? Bukankah panti adalah…

“Hmm… gimana, Tante? Bisa kita mulai sekarang ?”

“Tentu saja, Maria…” Mama mengangguk, melirik ke arahku. Aku yang masih belum paham pangkal masalahnya, akhirnya mulai mengerti saat seorang perempuan seumuran Mama muncul mempersilahkan kami masuk.

“Anak-anak sudah siap, Non.  Mereka ada di dalam,” ucap perempuan itu pada Maria. Sejurus kemudian Maria mempersilahkan kami untuk masuk. Sekali lagi Mama melirik ke arahku. Seakan tahu apa yang tengah berkecamuk dalam fikiranku. Ya, tentu saja aku malu sebab telah salah sangka pada si Maria. Lihatlah orang yang selama ini aku curigai macam-macam ternyata adalah seorang gadis polos, bahkan ia adalah gadis penyanyang anak-anak malang yang kehilangan keluarganya. Dia selama ini meminta Mama untuk mengadakan praktek pemeriksaan pada anak-anak panti yang terserang penyakit demam berdarah. Ya, hanya itu. Tidak lebih. Lalu, Zen? Lelaki itu ternyata hanya teman satu kampus Maria yang ikut serta membantu proses kerja samanya dengan Mama. Lihatlah di seberang sana, Zen tertawa riang bersama anak-anak lain.

“Mau minum apa, Mar?” ujarnya tersenyum menghampiriku yang tengah duduk di sofa ruangan depan. Aku menahan ludah. Malu!

Sekian
 Istana kata, 4-Desember- 2013

FLP Banyuanyar

Developer

Cras justo odio, dapibus ac facilisis in, egestas eget quam. Curabitur blandit tempus porttitor. Vivamus sagittis lacus vel augue laoreet rutrum faucibus dolor auctor.

0 komentar:

Posting Komentar